BLOG WONG MERTAPADA

Rabu, 04 April 2012

MACAM_MACAM RIBA

Macam-macam Riba penulis Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin Syariah Kajian Utama 28 - Februari - 2007 06:00:46 Mengembalikan uang yg dipinjam dgn jumlah lbh banyak inilah bentuk riba yg sering kita lihat di sekitar kita. Ternyata tdk hanya ini bentuk riba. Ada beberapa macam lagi bentuk riba dan bisa terjadi dlm beberapa transaksi. Apa saja itu? Untuk memperjelas pembahasan riba perlu disebutkan secara detail tentang pembagian riba masalah-masalah yg terkait dengan dan perbedaan pendapat para ulama dlm masalah ini. Riba ada beberapa macam: Riba Dain Riba ini disebut juga dgn riba jahiliyah sebab riba jenis inilah yg terjadi pada jaman jahiliyah. Riba ini ada dua bentuk: a. Penambahan harta sebagai denda dari penambahan tempo . Misal: Si A hutang Rp 1 juta kepada si B dgn tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo si B berkata: “Bayar hutangmu.” Si A menjawab: “Aku tdk punya uang. Beri saya tempo 1 bulan lagi dan hutang saya menjadi Rp 1.100.000.” Demikian seterusnya. Sistem ini disebut dgn riba mudha’afah . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً “Hai orang2 yg beriman janganlah kamu memakan riba dgn berlipat ganda.” b. Pinjaman dgn bunga yg dipersyaratkan di awal akad Misalnya: Si A hendak berhutang kepada si B. mk si B berkata di awal akad: “Saya hutangi kamu Rp 1 juta dgn tempo satu bulan dgn pembayaran Rp 1.100.000.” Riba jahiliyah jenis ini adl riba yg paling besar dosa dan sangat tampak kerusakannya. Riba jenis ini yg sering terjadi pada bank-bank dgn sistem konvensional yg terkenal di kalangan masyarakat dgn istilah “menganakkan uang.” Wallahul musta’an. Faedah penting: Termasuk riba dlm jenis ini adl riba qardh . Gambaran seseorang meminjamkan sesuatu kepada orang lain dgn syarat mengembalikan dgn yg lbh baik atau lbh banyak jumlahnya. Misal: Seseorang meminjamkan pena seharga Rp. 1000 dgn syarat akan mengembalikan dgn pena yg seharga Rp. 5000. Atau meminjamkan uang seharga Rp 100.000 dan akan dikembalikan Rp 110.000 saat jatuh tempo. Ringkas tiap pinjam meminjam yg mendatangkan keuntungan adl riba dgn argumentasi sebagai berikut: 1. Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu: كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ
مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا “Setiap pinjaman yg membawa keuntungan adl riba.” Hadits ini dha’if. dlm sanad ada Sawwar bin Mush’ab dia ini matruk . Lihat Irwa`ul Ghalil . Namun para ulama sepakat sebagaimana yg dinukil oleh Ibnu Hazm Ibnu Abdil Barr dan para ulama lain bahwa tiap pinjam meminjam yg di dlm dipersyaratkan sebuah keuntungan atau penambahan kriteria atau penambahan nominal termasuk riba. 2. Tindakan tersebut termasuk riba jahiliyah yg telah lewat penyebutan dan termasuk riba yg diharamkan berdasarkan Al-Qur`an As-Sunnah dan ijma’ ulama. 3. Pinjaman yg dipersyaratkan ada keuntungan sangat bertentangan dgn maksud dan tujuan mulia dari pinjam meminjam yg Islami yaitu membantu mengasihi dan berbuat baik kepada saudara yg membutuhkan pertolongan. Pinjaman itu berubah menjadi jual beli yg mencekik orang lain. Meminjami orang lain Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000 sama dgn membeli Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000. Ada beberapa kasus yg masuk pada kaidah ini di antaranya: a. Misalkan seseorang berhutang kepada syirkah Rp 10.000.000 dgn bunga 0% dgn tempo 1 tahun. Namun pihak syirkah mengatakan: “Bila jatuh tempo namun hutang belum terlunasi mk tiap bulan akan dikenai denda 5%.” Akad ini adl riba jahiliyah yg telah lewat penyebutannya. Dan cukup banyak syirkah atau yayasan yg menerapkan praktik semacam ini. b. Meminjami seseorang sejumlah uang tanpa bunga utk modal usaha dgn syarat pihak yg meminjami mendapat prosentase dari laba usaha dan hutang tetap dikembalikan secara utuh. Modus lain yg mirip adl memberikan sejumlah uang kepada seseorang utk modal usaha dgn syarat tiap bulan dia mendapatkan –misalnya– Rp 1 juta baik usahanya untung atau rugi. Sistem ini yg banyak terjadi pada koperasi BMT bahkan bank-bank syariah pun menerapkan sistem ini dgn istilah mudharabah . Mudharabah yg syar’i adalah: Misalkan seseorang memberikan modal Rp. 10 juta utk modal usaha dgn ketentuan pemodal mendapatkan 50% atau 40% atau 30% dari laba hasil usaha. Bila menghasilkan laba mk dia mendapatkan dan bila ternyata rugi mk kerugian itu ditanggung bersama . Hal ini sebagaimana yg dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dgn orang Yahudi Khaibar. Wallahul muwaffiq. Adapun transaksi yg dilakukan oleh mereka pada hakekat adl riba dain/qardh ala jahiliyah yg dikemas dgn baju indah nan Islami bernama mudharabah. Wallahul musta’an. c. Mengambil keuntungan dari barang yg digadaikan Misal: Si A meminjam uang Rp 10 juta kepada si B dgn menggadaikan sawah seluas 05 ha. Lalu pihak pegadaian memanfaatkan sawah tersebut mengambil hasil dan apa yg ada di dlm sampai si A bisa mengembalikan hutangnya. Tindakan tersebut termasuk riba namun dikecualikan dlm dua hal: 1. Bila barang yg digadaikan itu perlu pemeliharaan atau biaya mk barang tersebut bisa dimanfaatkan sebagai ganti pembiayaan. Misal yg digadaikan adl seekor sapi dan pihak pegadaian harus mengeluarkan biaya utk pemeliharaan. mk pihak pegadaian boleh memerah susu dari sapi tersebut sebagai ganti biaya perawatan. Dalil hadits riwayat Al-Bukhari dlm Shahih- dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا، وَلَبَنُ الدُّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا “Kendaraan yg tergadai boleh dinaiki nafkah dan susu hewan yg tergadai dapat diminum nafkahnya.” 2. Tanah sawah yg digadai akan mengalami kerusakan bila tdk ditanami mk pihak pegadaian bisa melakukan sistem mudharabah syar’i dgn pemilik tanah sesuai kesepakatan yg umum berlaku di kalangan masyarakat setempat tanpa ada rasa sungkan. Misal yg biasa berlaku adl 50%. Bila sawah yg ditanami pihak pegadaian tadi menghasilkan mk pemilik tanah dapat 50%. Namun bila si pemilik tanah merasa tdk enak krn dihutangi lalu dia hanya mengambil 25% saja mk ini tdk diperbolehkan. Wallahu a’lam bish-shawab. Riba Fadhl Definisi adl ada tafadhul pada dua perkara yg diwajibkan secara syar’i ada tamatsul padanya. Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dgn riba khafi sebab riba ini merupakan pintu menuju riba nasi`ah. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum riba fadhl. Yang rajih tanpa keraguan lagi adl pendapat jumhur ulama bahwa riba fadhl adl haram dgn dalil yg sangat banyak. Di antaranya: 1. Hadits ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim: لاَ تَبِيْعُوا الدِّيْنَارَ بِالدِّيْنَارَيْنِ وَلاَ الدِّرْهَمَ بِالدِّرْهَمَيْنِ “Jangan kalian menjual satu dinar dgn dua dinar jangan pula satu dirham dgn dua dirham.” Juga hadits-hadits yg semakna dgn itu di antaranya: a. Hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu yg muttafaq ‘alaih. b. Hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim. Juga hadits yg diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Abu Hurairah Sa’d bin Abi Waqqash Abu Bakrah Ma’mar bin Abdillah dan lain-lain yg menjelaskan tentang keharaman riba fadhl tersebut dlm Ash-Shahihain atau salah satunya. Adapun dalil pihak yg membolehkan adl hadits Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu: إِنَّمَا الرِّبَا فِي النَّسِيْئَةِ “Sesungguh riba itu hanya pada nasi`ah .” Maka ada beberapa jawaban di antaranya: a. Makna hadits ini adl tdk ada riba yg lbh keras keharaman dan diancam dgn hukuman keras kecuali riba nasi`ah. Sehingga yg ditiadakan adl kesempurnaan bukan wujud asal riba. b. Hadits tersebut dibawa kepada pengertian: Bila jenis berbeda mk diperbolehkan tafadhul dan diharamkan ada nasi`ah. Ini adl jawaban Al-Imam Asy-Syafi’i disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari guru Sulaiman bin Harb. Jawaban ini pula yg dirajihkan oleh Al-Imam Ath-Thabari Al-Imam Al-Baihaqi Ibnu Abdil Barr Ibnu Qudamah dan sejumlah ulama besar lainnya. Jawaban inilah yg mengompromikan antara hadits yg dzahir bertentangan. Wallahul muwaffiq. Riba Nasi`ah Yaitu ada tempo pada perkara yg diwajibkan secara syar’i ada taqabudh . Riba ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dgn riba jali dan para ulama sepakat tentang keharaman riba jenis ini dgn dasar hadits Usamah bin Zaid di atas. Banyak ulama yg membawakan ada kesepakatan akan haram riba jenis ini. Riba fadhl dan riba nasi`ah diistilahkan oleh para fuqaha dgn riba bai’ . Kaidah Seputar Dua Jenis Riba 1. Perkara yg diwajibkan secara syar’i ada tamatsul mk tdk boleh ada unsur tafadhul pada sebab bisa terjatuh pada riba fadhl. Misal: Tidak boleh menjual 1 dinar dgn 2 dinar atau 1 kg kurma dgn 15 kg kurma. 2. Perkara yg diwajibkan ada tamatsul mk diharamkan ada nasi`ah sebab bisa terjatuh pada riba nasi`ah dan fadhl bila barang satu jenis. Misal: Tidak boleh menjual emas dgn emas secara tafadhul demikian pula tdk boleh ada unsur nasi`ah. 3. Bila barang dari jenis yg berbeda mk disyaratkan taqabudh saja yakni boleh tafadhul namun tdk boleh nasi`ah. Misal menjual emas dgn perak atau kurma dgn garam. Transaksi ini boleh tafadhul namun tdk boleh nasi`ah. Ringkasnya: a. Beli emas dgn emas secara tafadhul berarti terjadi riba fadhl. b. Beli emas dgn emas secara tamatsul namun dgn nasi`ah mk terjadi riba nasi`ah. c. Beli emas dgn emas secara tafadhul dan nasi`ah mk terjadi kedua jenis riba yaitu fadhl dan nasi`ah. Hal ini berlaku pada barang yg sejenis. Adapun yg berbeda jenis hanya terjadi riba nasi`ah saja sebab tdk disyaratkan tamatsul namun hanya disyaratkan taqabudh. Wallahu a’lam. Untuk lbh memahami masalah ini kita perlu menglasifikasikan barang-barang yg terkena riba yaitu emas perak kurma burr sya’ir dan garam menjadi dua bagian: Bagian pertama: emas perak . Bagian kedua: kurma burr sya’ir dan garam. Keterangannya: 1. Masing-masing dari keenam barang di atas disebut satu jenis; jenis emas jenis perak jenis mata uang jenis kurma demikian seterusnya. Kaidahnya: bila jual beli barang sejenis misal emas dgn emas kurma dgn kurma dst mk diwajibkan ada dua hal: tamatsul dan taqabudh. 2. Jual beli lain jenis pada bagian pertama atau bagian kedua hanya disyaratkan taqabudh dan boleh tafadhul. Misal emas dgn perak atau sebalik emas dgn mata uang atau sebalik perak dgn mata uang atau sebaliknya. Ini utk bagian pertama. Misal utk bagian kedua: Kurma dgn burr atau sebalik sya’ir dgn garam atau sebalik kurma dgn sya’ir kurma dgn garam atau sebaliknya. Dalil dua keterangan ini adl hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu yg diriwayatkan oleh Muslim . Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَجْنَاسُ فَبِيْعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Emas dgn emas perak dgn perak burr dgn burr sya’ir dgn sya’ir kurma dgn kurma garam dgn garam harus semisal dgn semisal tangan dgn tangan . Namun bila jenis-jenis ini berbeda mk juallah terserah kalian bila tangan dgn tangan .” 3. Jual beli bagian pertama dgn bagian kedua atau sebalik diperbolehkan tafadhul dan nasi`ah . Misal membeli garam dgn uang kurma dgn uang dan seterusnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama yg dinukil oleh Ibnul Mundzir Ibnu Hazm Ibnu Qudamah Nashr Al-Maqdisi Al-Imam An-Nawawi dan sejumlah ulama lain. Dalil mereka adl sistem salam yaitu menyerahkan uang di awal akad utk barang tertentu dgn sifat tertentu dgn timbangan tertentu dan diserahkan pada tempo tertentu. Telah maklum bahwa alat bayar masa itu adl dinar dan dirham dan barang yg sering diminta adl kurma atau sya’ir atau burr . Di antara dalil juga adl hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: إِنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُوْدِيٍّ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ “Bahwasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikan baju perang dari besi kepadanya.” Makanan yg Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beli di sini adl sya’ir sebagaimana lafadz lain dari riwayat di atas dlm keadaan beliau tdk punya uang . Beliau mengambil barang itu secara tempo dgn menggadaikan baju besinya. Wallahu a’lam. Ash-Sharf Ash-sharf secara bahasa berarti memindah dan mengembalikan. Sedangkan secara istilah fuqaha definisi ash-sharf adl jual beli alat bayar dgn alat bayar sejenis atau beda jenis. Ulama Syafi’iyyah dan yg lain membedakan: bila sejenis disebut murathalah dan bila beda jenis disebut ash-sharf. Adapun mata uang dgn mata uang lbh dominan disebut ash-sharf. Telah dijelaskan di atas bahwa naqd adl salah satu bagian dari dua bagian hasil klasifikasi barang-barang jenis riba. Telah dijelaskan pula bahwa bila terjadi jual beli sesama jenis mk harus tamatsul dan taqabudh dan bila lain jenis harus taqabudh boleh tafadhul. Yang perlu dipahami adl bahwa masing-masing mata uang yg beredar di dunia ini adl jenis tersendiri . Sehingga bila terjadi tukar-menukar uang sejenis haruslah taqabudh dan tamatsul. Misal uang Rp. 100.00000 ditukar dgn pecahan Rp. 10.00000 mk nominal harus sama. Bila tdk berarti terjatuh dlm riba fadhl. Selain itu juga harus serah terima di tempat. Bila tdk berarti terjatuh dlm riba nasi`ah. Bila tdk tamatsul dan tdk taqabudh berarti terjatuh dlm riba fadhl dan riba nasi`ah sekaligus. Namun bila mata uang berlainan jenis mk harus taqabudh dan boleh tafadhul. Misal 1 dolar bernilai Rp. 10.00000 bisa ditukar Rp. 9.50000 atau Rp. 10.50000 namun harus serah terima di tempat. Wallahu a’lam. Masalah 1: Taqabudh dlm bab ash-sharf adl syarat sah. Ini adl pendapat mayoritas besar ulama bahkan dinukilkan ada ijma’. Namun Ibnu ‘Ulayyah berpendapat boleh berpisah tanpa taqabudh sebagaimana dinukil oleh Al-Imam An-Nawawi. Dalil jumhur ulama adalah: 1. Hadits Al-Bara` bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhum: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالْوَرِقِ دَيْنًا “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli emas dgn perak secara hutang.” 2. Hadits Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu dia berkata: أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَشْتَرِيَ الْفِضَّةَ بِالذَّهَبِ كَيْفَ شِئْنَا وَنَشْتَرِيَ الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ كَيْفَ شِئْنَا يَدًا بِيَدٍ “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami utk membeli perak dgn emas sekehendak kami dan membeli emas dgn perak sekehendak kami bila tangan dgn tangan .” Dengan dasar di atas mk tdk boleh jual-beli emas dgn perak dgn sistem tempo bila alat bayar adl mata uang. Begitu pula tdk boleh jual-beli mata uang secara tempo bila alat bayar adl emas atau perak. Ini adl fatwa para ulama kontemporer. Wallahul muwaffiq. Masalah 2: Apakah taqabudh harus segera ataukah boleh ada masa jeda? Yang rajih dari pendapat para ulama adl pendapat jumhur bahwa taqabudh itu boleh tarakhi walaupun sehari dua hari atau tiga hari ataupun berpindah tempat selama kedua pihak masih belum berpisah. Dalil adl sebagai berikut: 1. Disebutkan dlm Ash-Shahihain bahwa Malik bin Aus bin Hadatsan radhiyallahu ‘anhu datang sambil berkata: “Siapa yg mau menukar dirham?” mk Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu berkata –dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berada di sisinya–: “Tunjukkan kepadaku emasmu kemudian nanti engkau datang lagi setelah pembantuku datang lalu aku berikan perak kepadamu.” ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pun menimpali: “Tidak boleh. Demi Allah engkau berikan perak kepada atau engkau kembalikan emasnya.” Dalam lafadz Al-Bukhari disebutkan: Thalhah pun mengambil emas tersebut lalu dia bolak-balikkan di telapak tangan dan berkata: “Nanti hingga pembantuku datang dari hutan.” ‘Umar lalu berkata: “Demi Allah engkau tdk boleh berpisah dengan sampai engkau mengambil .” ‘Umar kemudian menyebutkan hadits: الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ “Emas dgn emas adl riba kecuali ha` dgn ha` .” 2. Ucapan ‘Umar dgn sanad yg shahih: “Bila salah seorang dari kalian melakukan ash-sharf dgn teman mk janganlah berpisah dengan hingga dia mengambilnya. Bila dia meminta tunggu hingga masuk rumah jangan beri dia masa tunggu tadi. Sebab saya khawatir engkau terkena riba.” Pendapat ini dirajihkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani dlm An-Nail. Wallahu a’lam. Yang dimaksud dgn majelis akad adl tempat jual beli baik kedua berjalan berdiri duduk atau dlm kendaraan. Sementara yg dimaksud dgn berpisah di sini adl pisah badan dan hal itu kembali kepada kebiasaan masyarakat setempat . Bila pihak money changer tdk punya sisa uang dan harus pergi ke tempat lain mk pihak penukar/pembeli wajib mengiringi ke mana dia pergi hingga terjadi taqabudh di tempat yg dituju dan menyempurnakan sisa kekurangannya. Wallahul muwaffiq. Masalah 3: Bila sebagian uang telah diterima dan sisa tertunda apakah sah akad tukar-menukarnya/ akad ash-sharfnya? Pendapat Al-Imam Malik Al-Imam Asy-Syafi’i dan kalangan Azh-Zhahiriyyah menyatakan: Bila sharf tdk dapat diserahterimakan seluruh mk akadpun harus batal seluruhnya. Sementara Abu Hanifah dan dua murid serta satu sisi pendapat yg dikuatkan dlm madzhab Hanbali menyatakan: Yang sudah diterima akad sah sementara yg belum diterima akad tdk sah. Yang rajih insya Allah adl pendapat kedua dan ini yg dikuatkan An-Nawawi serta Ar-Ruyani dari kalangan Syafi’iyyah. Sebab hukum itu berjalan bersama dgn ‘illat . Bila terpenuhi persyaratan sah mk akad pun sah wallahu a’lam. Pendapat ini juga dirajihkan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Masalah 4: Apakah ada khiyar dlm bab ash-sharf? Adapun khiyar majlis jumhur ulama berpendapat bahwa khiyar majlis dlm bab ash-sharf itu ada. Selama dlm majlis akad kedua belah pihak dapat menggagalkan akad hingga kedua saling berpisah. Mereka berhujjah dgn hadits Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu: الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا “Penjual dan pembeli khiyar selama kedua belum berpisah.” Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah. Adapun tentang khiyar syarat misal menukar dolar dgn rupiah lalu sang penukar mengatakan: “Dengan syarat saya punya hak khiyar selama tiga hari. Bila tdk cocok mk saya kembalikan lagi” mk jumhur berpendapat bahwa bila dlm perkara yg dipersyaratkan ada taqabudh seperti bab ash-sharf mk tdk boleh. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah. Masalah ini perlu perincian: 1. Bila dia sudah melakukan akad jual-beli dgn sempurna lalu minta syarat mk lbh baik dia tinggalkan walaupun secara dalil tdk ada yg melarang krn sudah ada taqabudh dlm akad. 2. Bila dia bawa barang terlebih dahulu sebelum terjadi akad lalu bermusyawarah dgn keluarga atau yg lain setelah itu dia melakukan transaksi dgn taqabudh mk tdk mengapa. Ini adl solusi terbaik yg disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Wallahu a’lam. Masalah 5: Akad ash-sharf via telepon dan yg semisalnya. Masalah ini perlu perincian: 1. Bila yg dimaukan hanya memesan barang atau semacam janji utk membeli barang tanpa akad yg sempurna mk diperbolehkan. Karena ‘pesan’ atau ‘janji’ tidaklah termasuk akad jual beli. Sang penjual punya hak menjual kepada orang lain dan sang pembeli punya hak utk membatalkan ‘janji’ itu. Demikian pendapat Ibnu Hazm Ibnu Rusyd dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah dan inilah pendapat yg shahih. Sementara Al-Imam Malik memakruhkannya. 2. Bila yg dimaksud adl akad jual-beli secara sempurna mk hukum haram sebab tdk ada unsur taqabudh. Dan ini merupakan riba nasi`ah. Demikian fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah. Masalah 6: Uang muka dlm bab ash-sharf. Bila yg diinginkan dgn uang muka/downpayment adl transaksi secara sempurna mk hukum haram krn tdk ada unsur taqabudh. Sedangkan bila yg diinginkan adl amanah atau simpanan lalu penyerahan pembayaran total dilakukan pada saat akad serah terima barang mk hal ini tdk mengapa. Wallahu a’lam. Masalah 7: Apakah disyaratkan ada barang di tempat dlm bab ash-sharf? Pendapat yg rajih adl pendapat jumhur ulama yg menyatakan bahwa diperbolehkan akad ash-sharf walaupun tdk ada barang di tempat atau barang dikirimkan setelah itu atau dgn meminjam kepada orang lain dan kemudian diserahkan. Yang penting adl ada taqabudh dlm majelis akad sebelum berpisah. Hujjah mereka adl bahwa yg dipersyaratkan dlm bab ash-sharf adl taqabudh dan hal itu telah terjadi dlm transaksi di atas. Wallahu a’lam. Hiwalah Mashrafiyyah Gambaran seseorang datang ke money changer ingin mengirim sejumlah uang ke Yaman –misalnya–. Masalah ini mempunyai dua keadaan: 1. Orang yg dikirimi menerima mata uang yg sama. Misal dari Indonesia mengirimkan uang 1000 dolar ke Yaman. Pihak penerima di Yaman menerima dgn mata uang yg sama. Para ulama memasukkan keadaan ini ke dlm salah satu masalah berikut: a. Masalah hiwalah secara fiqih b. Masalah ijarah c. Sesuatu yg dahulu dikenal dgn istilah saftajah. Keadaan ini diperbolehkan. 2. Pihak yg dikirimi menerima dlm bentuk mata uang yg berbeda. Misal dari Indonesia mengirim uang Rp. 10 juta ke Yaman. Sedangkan pihak penerima di Yaman menerima dlm bentuk uang 900 dolar . Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama kontemporer:  Sebagian mereka melarang krn keadaan ini mengandung unsur hiwalah dan ash-sharf padahal dlm ash-sharf disyaratkan ada taqabudh. Sedangkan pada keadaan di atas tdk ada unsur taqabudh. Ini adl fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan dan dzahir fatwa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Ini juga fatwa Syaikhuna Yahya Al-Hajuri hafizhahullah.  Mayoritas ulama kontemporer berfatwa tentang kebolehan krn kebutuhan dan keadaan darurat. Namun tdk diragukan lagi bahwa yg lbh selamat bagi agama seseorang dan sebagai upaya menghindari pintu riba adl dia tdk melakukan transaksi seperti ini. Para ulama memberikan beberapa solusi di antaranya: 1. Mensyaratkan kepada pihak penyelenggara jasa transfer utk mengirimkan mata uang yg sama ke tempat yg dituju. Dan ini mungkin dilakukan dgn cara memberikan uang jasa kepada mereka. 2. Menukar mata uang terlebih dahulu baru dia kirim dgn mata uang yg diinginkan. Misal seseorang mempunyai uang Rp. 10 juta hendak dikirim ke Arab Saudi dlm bentuk real. mk dia tukar terlebih dahulu uang rupiah itu dgn real Saudi baru dia minta pihak penyelenggara jasa mengirimkan dlm bentuk real Saudi. Bila dia telah yakin akan sampai di Arab Saudi dlm bentuk real namun ternyata sampai dlm bentuk rupiah mk tdk mengapa bagi penerima utk mengambil rupiah itu krn keadan darurat. Wallahu a’lam. Masalah 8: Bagaimana bila sebuah mata uang tdk bisa keluar dari negeri krn larangan pemerintah setempat atau krn tdk ada nilai di luar negeri? Misal seseorang mempunyai sejumlah uang real Saudi dan hendak mengirimkan ke Indonesia dlm bentuk rupiah. Dia ingin menukar real Saudi dgn rupiah namun krn rupiah jatuh tdk ada satupun money changer yg mau. Solusi adalah: 1. Dia langsung mengirim dlm bentuk real Saudi ke Indonesia. Penerima di Indonesia menerima real tersebut kemudian ditukar dgn rupiah di Indonesia. 2. Atau bila real Saudi tdk bisa keluar mk dia tukar real dgn dolar –misalnya– lalu dia kirimkan dolar ke Indonesia. Penerima di Indonesia menerima dlm bentuk dolar kemudian ditukar dgn rupiah di Indonesia. Wallahul muwaffiq. Penggunaan Cek dlm Ash-Sharf Dari permasalahan hiwalah mashrafiyyah di atas muncul masalah kontemporer yg sangat masyhur yaitu menggunakan kertas cek dlm bab ash-sharf baik dlm jual beli emas dan perak maupun tukar-menukar mata uang dgn cek. Permasalahan ini dibahas oleh para ulama khusus dlm hal cek resmi yg diakui atau dikeluarkan oleh pihak bank. Adapun cek palsu atau yg tdk diakui pihak bank mk jelas larangannya. Para ulama berbeda pandangan dlm masalah ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa dlm masalah ash-sharf atau yg dipersyaratkan ada taqabudh tdk boleh ada hiwalah . Dalam masalah cek apakah sudah terjadi taqabudh yg hakiki ataukah tidak? Sebagian ulama masa kini semisal Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berpendapat bahwa muamalah jual beli emas dan perak atau mata uang menggunakan cek adl tdk boleh. Karena cek bukanlah taqabudh hakiki melainkan hanya bukti hiwalah saja. Terbukti bila cek tersebut hilang dia bisa minta lagi cek dgn nominal yg sama. Namun beliau mengecualikan cek yg resmi dari bank mk tdk mengapa asalkan sang penjual yg menerima cek dari pembeli langsung menghubungi bank dan mengatakan: “Biarkan uang itu sebagai simpanan di situ.” Ulama yg melarang beralasan dgn beberapa hal sebagai berikut: 1. Bila cek itu rusak atau hilang sebelum uang dgn nominal yg tercantum itu diambil mk sang pemegang cek akan kembali kepada yg memberi cek. Bila cek tersebut adl serah terima hakiki layak mata uang niscaya dia tdk akan kembali ketika hilang atau rusak. 2. Terkadang cek tersebut ditarik tanpa nominal mk jelas tdk ada serah terima yg hakiki. 3. Terkadang pula orang yg menukar cek ditolak sehingga juga tdk ada serah terima yg hakiki. 4. Cek tdk termasuk kertas alat bayar layak mata uang namun hanya kertas yg berisikan nominal mata uang. Sementara itu mayoritas ulama dan fuqaha zaman ini serta para pakar ekonomi berpendapat bahwa cek mengandung qabdh yg sempurna lagi hakiki sehingga dapat bertransaksi menggunakan cek dlm bab ash-sharf. Alasan mereka adl sebagai berikut: 1. Sesungguh dlm syariat disebutkan masalah qabdh namun tdk ditentukan batasannya. Tidak pula diikat dgn kriteria tertentu. Rujukan hukum-hukum yg bersifat umum seperti ini adl kebiasaan setempat. Sementara secara kebiasaan yg terjadi di kalangan pebisnis cek adl serah terima yg sempurna terhadap apa yg terkandung di dalamnya. 2. Cek yg resmi dan diakui tidaklah akan dikeluarkan kecuali setelah diyakini ada debet-kredit pemilik cek pada sebuah bank. Dan ini yg dimaksud dgn hiwalah dlm fiqih Islami . 3. Keadaan darurat membuat cek tersebut dijadikan sebagai serah terima yg hakiki. Kaidah ini ada dlm syariat yaitu: “Keadaan darurat membolehkan perkara yg haram” “Kebutuhan yg umum memiliki hukum darurat” “Kesulitan mendatangkan kemudahan” “Bila perkara menjadi sempit mk datanglah keluasan.” Kaidah-kaidah seperti ini diambil dari kemudahan-kemudahan Islam yg tertuang dlm banyak dalil di antaranya: إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا “Sesungguh bersama kesusahan ada kemudahan.” Juga ayat: يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ “Allah menghendaki utk kemudahan bagi kalian dan tdk menghendaki kesukaran bagi kalian.” 4. Memudahkan perjalanan bisnis dan mengurangi resiko serta penjagaan terhadap harta benda yg dapat memotivasi para pebisnis utk melangsungkan bisnis dan menunjukkan kemudahan-kemudahan Islam. Pendapat ini adl kesepakatan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami pada Rabithah ‘Alam Islami yg dipimpin oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz. Juga pada fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah yg diketuai Asy-Syaikh Ibnu Baz yg beranggotakan Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud dan Asy-Syaikh Al-Ghudayyan. Mereka beralasan krn kebutuhan umum. Bila menilik kepada dalil-dalil syar’i mk yg rajih adl pendapat yg melarang. Namun dari sisi kebutuhan dan keadaan yg darurat mk diperbolehkan. Oleh krn itu hendak seorang muslim tdk bermuamalah dgn cara ini kecuali dlm keadaan darurat saja. Wallahul muwaffiq. Jual-beli Valas Dari uraian-uraian di atas kita dapat memahami hukum jual-beli valas secara syar’i dgn penjabaran sebagai berikut: 1. Bila jual-beli valas dari mata uang sejenis misal dolar dgn dolar mk disyaratkan ada tamatsul dan taqabudh. 2. Bila dari jenis mata uang yg berbeda misal rupiah dgn dolar atau dolar dgn poundsterling hanya disyaratkan ada taqabudh. Dengan dasar kaidah di atas maka: a. Tidak mengapa menanti naik-turun kurs sebuah mata uang yg dikehendaki bila terpenuhi persyaratan secara syar’i di atas ketika transaksi. b. Tidak diperbolehkan transaksi via transfer ATM atau sejenis sebab tdk terjadi taqabudh yg disyaratkan. c. Tidak boleh terjadi pertaruhan berbau judi dlm jual beli valas. Wallahu a’lam bish-shawab. Demikian penjelasan ringkas seputar masalah riba. Sebenar masih banyak permasalahan yg perlu diangkat namun krn keterbatasan lembar majalah ini mk kami cukupkan sampai di sini. Selebih dapat merujuk karya-karya para ulama dlm masalah ini. Semoga bermanfaat. Wallahul muwaffiq. Maraji’: 1. Syarhul Buyu’ hal. 124 dst 2. Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah juz 13 14 dan 15 3. Hasyiyah As-Sindi ‘ala Sunan An-Nasa`i 4. As-Sunnah karya Al-Marwazi 1 Namun jumhur ulama melarang ada hiwalah dlm bab ash-sharf . Sumber: www.asysyariah.com
Macam-macam Riba penulis Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin Syariah Kajian Utama 28 - Februari - 2007 06:00:46 Mengembalikan uang yg dipinjam dgn jumlah lbh banyak inilah bentuk riba yg sering kita lihat di sekitar kita. Ternyata tdk hanya ini bentuk riba. Ada beberapa macam lagi bentuk riba dan bisa terjadi dlm beberapa transaksi. Apa saja itu? Untuk memperjelas pembahasan riba perlu disebutkan secara detail tentang pembagian riba masalah-masalah yg terkait dengan dan perbedaan pendapat para ulama dlm masalah ini. Riba ada beberapa macam: Riba Dain Riba ini disebut juga dgn riba jahiliyah sebab riba jenis inilah yg terjadi pada jaman jahiliyah. Riba ini ada dua bentuk: a. Penambahan harta sebagai denda dari penambahan tempo . Misal: Si A hutang Rp 1 juta kepada si B dgn tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo si B berkata: “Bayar hutangmu.” Si A menjawab: “Aku tdk punya uang. Beri saya tempo 1 bulan lagi dan hutang saya menjadi Rp 1.100.000.” Demikian seterusnya. Sistem ini disebut dgn riba mudha’afah . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً “Hai orang2 yg beriman janganlah kamu memakan riba dgn berlipat ganda.” b. Pinjaman dgn bunga yg dipersyaratkan di awal akad Misalnya: Si A hendak berhutang kepada si B. mk si B berkata di awal akad: “Saya hutangi kamu Rp 1 juta dgn tempo satu bulan dgn pembayaran Rp 1.100.000.” Riba jahiliyah jenis ini adl riba yg paling besar dosa dan sangat tampak kerusakannya. Riba jenis ini yg sering terjadi pada bank-bank dgn sistem konvensional yg terkenal di kalangan masyarakat dgn istilah “menganakkan uang.” Wallahul musta’an. Faedah penting: Termasuk riba dlm jenis ini adl riba qardh . Gambaran seseorang meminjamkan sesuatu kepada orang lain dgn syarat mengembalikan dgn yg lbh baik atau lbh banyak jumlahnya. Misal: Seseorang meminjamkan pena seharga Rp. 1000 dgn syarat akan mengembalikan dgn pena yg seharga Rp. 5000. Atau meminjamkan uang seharga Rp 100.000 dan akan dikembalikan Rp 110.000 saat jatuh tempo. Ringkas tiap pinjam meminjam yg mendatangkan keuntungan adl riba dgn argumentasi sebagai berikut: 1. Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu: كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ
مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا “Setiap pinjaman yg membawa keuntungan adl riba.” Hadits ini dha’if. dlm sanad ada Sawwar bin Mush’ab dia ini matruk . Lihat Irwa`ul Ghalil . Namun para ulama sepakat sebagaimana yg dinukil oleh Ibnu Hazm Ibnu Abdil Barr dan para ulama lain bahwa tiap pinjam meminjam yg di dlm dipersyaratkan sebuah keuntungan atau penambahan kriteria atau penambahan nominal termasuk riba. 2. Tindakan tersebut termasuk riba jahiliyah yg telah lewat penyebutan dan termasuk riba yg diharamkan berdasarkan Al-Qur`an As-Sunnah dan ijma’ ulama. 3. Pinjaman yg dipersyaratkan ada keuntungan sangat bertentangan dgn maksud dan tujuan mulia dari pinjam meminjam yg Islami yaitu membantu mengasihi dan berbuat baik kepada saudara yg membutuhkan pertolongan. Pinjaman itu berubah menjadi jual beli yg mencekik orang lain. Meminjami orang lain Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000 sama dgn membeli Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000. Ada beberapa kasus yg masuk pada kaidah ini di antaranya: a. Misalkan seseorang berhutang kepada syirkah Rp 10.000.000 dgn bunga 0% dgn tempo 1 tahun. Namun pihak syirkah mengatakan: “Bila jatuh tempo namun hutang belum terlunasi mk tiap bulan akan dikenai denda 5%.” Akad ini adl riba jahiliyah yg telah lewat penyebutannya. Dan cukup banyak syirkah atau yayasan yg menerapkan praktik semacam ini. b. Meminjami seseorang sejumlah uang tanpa bunga utk modal usaha dgn syarat pihak yg meminjami mendapat prosentase dari laba usaha dan hutang tetap dikembalikan secara utuh. Modus lain yg mirip adl memberikan sejumlah uang kepada seseorang utk modal usaha dgn syarat tiap bulan dia mendapatkan –misalnya– Rp 1 juta baik usahanya untung atau rugi. Sistem ini yg banyak terjadi pada koperasi BMT bahkan bank-bank syariah pun menerapkan sistem ini dgn istilah mudharabah . Mudharabah yg syar’i adalah: Misalkan seseorang memberikan modal Rp. 10 juta utk modal usaha dgn ketentuan pemodal mendapatkan 50% atau 40% atau 30% dari laba hasil usaha. Bila menghasilkan laba mk dia mendapatkan dan bila ternyata rugi mk kerugian itu ditanggung bersama . Hal ini sebagaimana yg dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dgn orang Yahudi Khaibar. Wallahul muwaffiq. Adapun transaksi yg dilakukan oleh mereka pada hakekat adl riba dain/qardh ala jahiliyah yg dikemas dgn baju indah nan Islami bernama mudharabah. Wallahul musta’an. c. Mengambil keuntungan dari barang yg digadaikan Misal: Si A meminjam uang Rp 10 juta kepada si B dgn menggadaikan sawah seluas 05 ha. Lalu pihak pegadaian memanfaatkan sawah tersebut mengambil hasil dan apa yg ada di dlm sampai si A bisa mengembalikan hutangnya. Tindakan tersebut termasuk riba namun dikecualikan dlm dua hal: 1. Bila barang yg digadaikan itu perlu pemeliharaan atau biaya mk barang tersebut bisa dimanfaatkan sebagai ganti pembiayaan. Misal yg digadaikan adl seekor sapi dan pihak pegadaian harus mengeluarkan biaya utk pemeliharaan. mk pihak pegadaian boleh memerah susu dari sapi tersebut sebagai ganti biaya perawatan. Dalil hadits riwayat Al-Bukhari dlm Shahih- dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا، وَلَبَنُ الدُّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا “Kendaraan yg tergadai boleh dinaiki nafkah dan susu hewan yg tergadai dapat diminum nafkahnya.” 2. Tanah sawah yg digadai akan mengalami kerusakan bila tdk ditanami mk pihak pegadaian bisa melakukan sistem mudharabah syar’i dgn pemilik tanah sesuai kesepakatan yg umum berlaku di kalangan masyarakat setempat tanpa ada rasa sungkan. Misal yg biasa berlaku adl 50%. Bila sawah yg ditanami pihak pegadaian tadi menghasilkan mk pemilik tanah dapat 50%. Namun bila si pemilik tanah merasa tdk enak krn dihutangi lalu dia hanya mengambil 25% saja mk ini tdk diperbolehkan. Wallahu a’lam bish-shawab. Riba Fadhl Definisi adl ada tafadhul pada dua perkara yg diwajibkan secara syar’i ada tamatsul padanya. Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dgn riba khafi sebab riba ini merupakan pintu menuju riba nasi`ah. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum riba fadhl. Yang rajih tanpa keraguan lagi adl pendapat jumhur ulama bahwa riba fadhl adl haram dgn dalil yg sangat banyak. Di antaranya: 1. Hadits ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim: لاَ تَبِيْعُوا الدِّيْنَارَ بِالدِّيْنَارَيْنِ وَلاَ الدِّرْهَمَ بِالدِّرْهَمَيْنِ “Jangan kalian menjual satu dinar dgn dua dinar jangan pula satu dirham dgn dua dirham.” Juga hadits-hadits yg semakna dgn itu di antaranya: a. Hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu yg muttafaq ‘alaih. b. Hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim. Juga hadits yg diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Abu Hurairah Sa’d bin Abi Waqqash Abu Bakrah Ma’mar bin Abdillah dan lain-lain yg menjelaskan tentang keharaman riba fadhl tersebut dlm Ash-Shahihain atau salah satunya. Adapun dalil pihak yg membolehkan adl hadits Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu: إِنَّمَا الرِّبَا فِي النَّسِيْئَةِ “Sesungguh riba itu hanya pada nasi`ah .” Maka ada beberapa jawaban di antaranya: a. Makna hadits ini adl tdk ada riba yg lbh keras keharaman dan diancam dgn hukuman keras kecuali riba nasi`ah. Sehingga yg ditiadakan adl kesempurnaan bukan wujud asal riba. b. Hadits tersebut dibawa kepada pengertian: Bila jenis berbeda mk diperbolehkan tafadhul dan diharamkan ada nasi`ah. Ini adl jawaban Al-Imam Asy-Syafi’i disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari guru Sulaiman bin Harb. Jawaban ini pula yg dirajihkan oleh Al-Imam Ath-Thabari Al-Imam Al-Baihaqi Ibnu Abdil Barr Ibnu Qudamah dan sejumlah ulama besar lainnya. Jawaban inilah yg mengompromikan antara hadits yg dzahir bertentangan. Wallahul muwaffiq. Riba Nasi`ah Yaitu ada tempo pada perkara yg diwajibkan secara syar’i ada taqabudh . Riba ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dgn riba jali dan para ulama sepakat tentang keharaman riba jenis ini dgn dasar hadits Usamah bin Zaid di atas. Banyak ulama yg membawakan ada kesepakatan akan haram riba jenis ini. Riba fadhl dan riba nasi`ah diistilahkan oleh para fuqaha dgn riba bai’ . Kaidah Seputar Dua Jenis Riba 1. Perkara yg diwajibkan secara syar’i ada tamatsul mk tdk boleh ada unsur tafadhul pada sebab bisa terjatuh pada riba fadhl. Misal: Tidak boleh menjual 1 dinar dgn 2 dinar atau 1 kg kurma dgn 15 kg kurma. 2. Perkara yg diwajibkan ada tamatsul mk diharamkan ada nasi`ah sebab bisa terjatuh pada riba nasi`ah dan fadhl bila barang satu jenis. Misal: Tidak boleh menjual emas dgn emas secara tafadhul demikian pula tdk boleh ada unsur nasi`ah. 3. Bila barang dari jenis yg berbeda mk disyaratkan taqabudh saja yakni boleh tafadhul namun tdk boleh nasi`ah. Misal menjual emas dgn perak atau kurma dgn garam. Transaksi ini boleh tafadhul namun tdk boleh nasi`ah. Ringkasnya: a. Beli emas dgn emas secara tafadhul berarti terjadi riba fadhl. b. Beli emas dgn emas secara tamatsul namun dgn nasi`ah mk terjadi riba nasi`ah. c. Beli emas dgn emas secara tafadhul dan nasi`ah mk terjadi kedua jenis riba yaitu fadhl dan nasi`ah. Hal ini berlaku pada barang yg sejenis. Adapun yg berbeda jenis hanya terjadi riba nasi`ah saja sebab tdk disyaratkan tamatsul namun hanya disyaratkan taqabudh. Wallahu a’lam. Untuk lbh memahami masalah ini kita perlu menglasifikasikan barang-barang yg terkena riba yaitu emas perak kurma burr sya’ir dan garam menjadi dua bagian: Bagian pertama: emas perak . Bagian kedua: kurma burr sya’ir dan garam. Keterangannya: 1. Masing-masing dari keenam barang di atas disebut satu jenis; jenis emas jenis perak jenis mata uang jenis kurma demikian seterusnya. Kaidahnya: bila jual beli barang sejenis misal emas dgn emas kurma dgn kurma dst mk diwajibkan ada dua hal: tamatsul dan taqabudh. 2. Jual beli lain jenis pada bagian pertama atau bagian kedua hanya disyaratkan taqabudh dan boleh tafadhul. Misal emas dgn perak atau sebalik emas dgn mata uang atau sebalik perak dgn mata uang atau sebaliknya. Ini utk bagian pertama. Misal utk bagian kedua: Kurma dgn burr atau sebalik sya’ir dgn garam atau sebalik kurma dgn sya’ir kurma dgn garam atau sebaliknya. Dalil dua keterangan ini adl hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu yg diriwayatkan oleh Muslim . Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَجْنَاسُ فَبِيْعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ “Emas dgn emas perak dgn perak burr dgn burr sya’ir dgn sya’ir kurma dgn kurma garam dgn garam harus semisal dgn semisal tangan dgn tangan . Namun bila jenis-jenis ini berbeda mk juallah terserah kalian bila tangan dgn tangan .” 3. Jual beli bagian pertama dgn bagian kedua atau sebalik diperbolehkan tafadhul dan nasi`ah . Misal membeli garam dgn uang kurma dgn uang dan seterusnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama yg dinukil oleh Ibnul Mundzir Ibnu Hazm Ibnu Qudamah Nashr Al-Maqdisi Al-Imam An-Nawawi dan sejumlah ulama lain. Dalil mereka adl sistem salam yaitu menyerahkan uang di awal akad utk barang tertentu dgn sifat tertentu dgn timbangan tertentu dan diserahkan pada tempo tertentu. Telah maklum bahwa alat bayar masa itu adl dinar dan dirham dan barang yg sering diminta adl kurma atau sya’ir atau burr . Di antara dalil juga adl hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: إِنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُوْدِيٍّ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ “Bahwasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikan baju perang dari besi kepadanya.” Makanan yg Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beli di sini adl sya’ir sebagaimana lafadz lain dari riwayat di atas dlm keadaan beliau tdk punya uang . Beliau mengambil barang itu secara tempo dgn menggadaikan baju besinya. Wallahu a’lam. Ash-Sharf Ash-sharf secara bahasa berarti memindah dan mengembalikan. Sedangkan secara istilah fuqaha definisi ash-sharf adl jual beli alat bayar dgn alat bayar sejenis atau beda jenis. Ulama Syafi’iyyah dan yg lain membedakan: bila sejenis disebut murathalah dan bila beda jenis disebut ash-sharf. Adapun mata uang dgn mata uang lbh dominan disebut ash-sharf. Telah dijelaskan di atas bahwa naqd adl salah satu bagian dari dua bagian hasil klasifikasi barang-barang jenis riba. Telah dijelaskan pula bahwa bila terjadi jual beli sesama jenis mk harus tamatsul dan taqabudh dan bila lain jenis harus taqabudh boleh tafadhul. Yang perlu dipahami adl bahwa masing-masing mata uang yg beredar di dunia ini adl jenis tersendiri . Sehingga bila terjadi tukar-menukar uang sejenis haruslah taqabudh dan tamatsul. Misal uang Rp. 100.00000 ditukar dgn pecahan Rp. 10.00000 mk nominal harus sama. Bila tdk berarti terjatuh dlm riba fadhl. Selain itu juga harus serah terima di tempat. Bila tdk berarti terjatuh dlm riba nasi`ah. Bila tdk tamatsul dan tdk taqabudh berarti terjatuh dlm riba fadhl dan riba nasi`ah sekaligus. Namun bila mata uang berlainan jenis mk harus taqabudh dan boleh tafadhul. Misal 1 dolar bernilai Rp. 10.00000 bisa ditukar Rp. 9.50000 atau Rp. 10.50000 namun harus serah terima di tempat. Wallahu a’lam. Masalah 1: Taqabudh dlm bab ash-sharf adl syarat sah. Ini adl pendapat mayoritas besar ulama bahkan dinukilkan ada ijma’. Namun Ibnu ‘Ulayyah berpendapat boleh berpisah tanpa taqabudh sebagaimana dinukil oleh Al-Imam An-Nawawi. Dalil jumhur ulama adalah: 1. Hadits Al-Bara` bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhum: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالْوَرِقِ دَيْنًا “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli emas dgn perak secara hutang.” 2. Hadits Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu dia berkata: أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَشْتَرِيَ الْفِضَّةَ بِالذَّهَبِ كَيْفَ شِئْنَا وَنَشْتَرِيَ الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ كَيْفَ شِئْنَا يَدًا بِيَدٍ “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami utk membeli perak dgn emas sekehendak kami dan membeli emas dgn perak sekehendak kami bila tangan dgn tangan .” Dengan dasar di atas mk tdk boleh jual-beli emas dgn perak dgn sistem tempo bila alat bayar adl mata uang. Begitu pula tdk boleh jual-beli mata uang secara tempo bila alat bayar adl emas atau perak. Ini adl fatwa para ulama kontemporer. Wallahul muwaffiq. Masalah 2: Apakah taqabudh harus segera ataukah boleh ada masa jeda? Yang rajih dari pendapat para ulama adl pendapat jumhur bahwa taqabudh itu boleh tarakhi walaupun sehari dua hari atau tiga hari ataupun berpindah tempat selama kedua pihak masih belum berpisah. Dalil adl sebagai berikut: 1. Disebutkan dlm Ash-Shahihain bahwa Malik bin Aus bin Hadatsan radhiyallahu ‘anhu datang sambil berkata: “Siapa yg mau menukar dirham?” mk Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu berkata –dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berada di sisinya–: “Tunjukkan kepadaku emasmu kemudian nanti engkau datang lagi setelah pembantuku datang lalu aku berikan perak kepadamu.” ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pun menimpali: “Tidak boleh. Demi Allah engkau berikan perak kepada atau engkau kembalikan emasnya.” Dalam lafadz Al-Bukhari disebutkan: Thalhah pun mengambil emas tersebut lalu dia bolak-balikkan di telapak tangan dan berkata: “Nanti hingga pembantuku datang dari hutan.” ‘Umar lalu berkata: “Demi Allah engkau tdk boleh berpisah dengan sampai engkau mengambil .” ‘Umar kemudian menyebutkan hadits: الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ “Emas dgn emas adl riba kecuali ha` dgn ha` .” 2. Ucapan ‘Umar dgn sanad yg shahih: “Bila salah seorang dari kalian melakukan ash-sharf dgn teman mk janganlah berpisah dengan hingga dia mengambilnya. Bila dia meminta tunggu hingga masuk rumah jangan beri dia masa tunggu tadi. Sebab saya khawatir engkau terkena riba.” Pendapat ini dirajihkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani dlm An-Nail. Wallahu a’lam. Yang dimaksud dgn majelis akad adl tempat jual beli baik kedua berjalan berdiri duduk atau dlm kendaraan. Sementara yg dimaksud dgn berpisah di sini adl pisah badan dan hal itu kembali kepada kebiasaan masyarakat setempat . Bila pihak money changer tdk punya sisa uang dan harus pergi ke tempat lain mk pihak penukar/pembeli wajib mengiringi ke mana dia pergi hingga terjadi taqabudh di tempat yg dituju dan menyempurnakan sisa kekurangannya. Wallahul muwaffiq. Masalah 3: Bila sebagian uang telah diterima dan sisa tertunda apakah sah akad tukar-menukarnya/ akad ash-sharfnya? Pendapat Al-Imam Malik Al-Imam Asy-Syafi’i dan kalangan Azh-Zhahiriyyah menyatakan: Bila sharf tdk dapat diserahterimakan seluruh mk akadpun harus batal seluruhnya. Sementara Abu Hanifah dan dua murid serta satu sisi pendapat yg dikuatkan dlm madzhab Hanbali menyatakan: Yang sudah diterima akad sah sementara yg belum diterima akad tdk sah. Yang rajih insya Allah adl pendapat kedua dan ini yg dikuatkan An-Nawawi serta Ar-Ruyani dari kalangan Syafi’iyyah. Sebab hukum itu berjalan bersama dgn ‘illat . Bila terpenuhi persyaratan sah mk akad pun sah wallahu a’lam. Pendapat ini juga dirajihkan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Masalah 4: Apakah ada khiyar dlm bab ash-sharf? Adapun khiyar majlis jumhur ulama berpendapat bahwa khiyar majlis dlm bab ash-sharf itu ada. Selama dlm majlis akad kedua belah pihak dapat menggagalkan akad hingga kedua saling berpisah. Mereka berhujjah dgn hadits Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu: الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا “Penjual dan pembeli khiyar selama kedua belum berpisah.” Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah. Adapun tentang khiyar syarat misal menukar dolar dgn rupiah lalu sang penukar mengatakan: “Dengan syarat saya punya hak khiyar selama tiga hari. Bila tdk cocok mk saya kembalikan lagi” mk jumhur berpendapat bahwa bila dlm perkara yg dipersyaratkan ada taqabudh seperti bab ash-sharf mk tdk boleh. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah. Masalah ini perlu perincian: 1. Bila dia sudah melakukan akad jual-beli dgn sempurna lalu minta syarat mk lbh baik dia tinggalkan walaupun secara dalil tdk ada yg melarang krn sudah ada taqabudh dlm akad. 2. Bila dia bawa barang terlebih dahulu sebelum terjadi akad lalu bermusyawarah dgn keluarga atau yg lain setelah itu dia melakukan transaksi dgn taqabudh mk tdk mengapa. Ini adl solusi terbaik yg disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Wallahu a’lam. Masalah 5: Akad ash-sharf via telepon dan yg semisalnya. Masalah ini perlu perincian: 1. Bila yg dimaukan hanya memesan barang atau semacam janji utk membeli barang tanpa akad yg sempurna mk diperbolehkan. Karena ‘pesan’ atau ‘janji’ tidaklah termasuk akad jual beli. Sang penjual punya hak menjual kepada orang lain dan sang pembeli punya hak utk membatalkan ‘janji’ itu. Demikian pendapat Ibnu Hazm Ibnu Rusyd dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah dan inilah pendapat yg shahih. Sementara Al-Imam Malik memakruhkannya. 2. Bila yg dimaksud adl akad jual-beli secara sempurna mk hukum haram sebab tdk ada unsur taqabudh. Dan ini merupakan riba nasi`ah. Demikian fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah. Masalah 6: Uang muka dlm bab ash-sharf. Bila yg diinginkan dgn uang muka/downpayment adl transaksi secara sempurna mk hukum haram krn tdk ada unsur taqabudh. Sedangkan bila yg diinginkan adl amanah atau simpanan lalu penyerahan pembayaran total dilakukan pada saat akad serah terima barang mk hal ini tdk mengapa. Wallahu a’lam. Masalah 7: Apakah disyaratkan ada barang di tempat dlm bab ash-sharf? Pendapat yg rajih adl pendapat jumhur ulama yg menyatakan bahwa diperbolehkan akad ash-sharf walaupun tdk ada barang di tempat atau barang dikirimkan setelah itu atau dgn meminjam kepada orang lain dan kemudian diserahkan. Yang penting adl ada taqabudh dlm majelis akad sebelum berpisah. Hujjah mereka adl bahwa yg dipersyaratkan dlm bab ash-sharf adl taqabudh dan hal itu telah terjadi dlm transaksi di atas. Wallahu a’lam. Hiwalah Mashrafiyyah Gambaran seseorang datang ke money changer ingin mengirim sejumlah uang ke Yaman –misalnya–. Masalah ini mempunyai dua keadaan: 1. Orang yg dikirimi menerima mata uang yg sama. Misal dari Indonesia mengirimkan uang 1000 dolar ke Yaman. Pihak penerima di Yaman menerima dgn mata uang yg sama. Para ulama memasukkan keadaan ini ke dlm salah satu masalah berikut: a. Masalah hiwalah secara fiqih b. Masalah ijarah c. Sesuatu yg dahulu dikenal dgn istilah saftajah. Keadaan ini diperbolehkan. 2. Pihak yg dikirimi menerima dlm bentuk mata uang yg berbeda. Misal dari Indonesia mengirim uang Rp. 10 juta ke Yaman. Sedangkan pihak penerima di Yaman menerima dlm bentuk uang 900 dolar . Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama kontemporer:  Sebagian mereka melarang krn keadaan ini mengandung unsur hiwalah dan ash-sharf padahal dlm ash-sharf disyaratkan ada taqabudh. Sedangkan pada keadaan di atas tdk ada unsur taqabudh. Ini adl fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan dan dzahir fatwa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Ini juga fatwa Syaikhuna Yahya Al-Hajuri hafizhahullah.  Mayoritas ulama kontemporer berfatwa tentang kebolehan krn kebutuhan dan keadaan darurat. Namun tdk diragukan lagi bahwa yg lbh selamat bagi agama seseorang dan sebagai upaya menghindari pintu riba adl dia tdk melakukan transaksi seperti ini. Para ulama memberikan beberapa solusi di antaranya: 1. Mensyaratkan kepada pihak penyelenggara jasa transfer utk mengirimkan mata uang yg sama ke tempat yg dituju. Dan ini mungkin dilakukan dgn cara memberikan uang jasa kepada mereka. 2. Menukar mata uang terlebih dahulu baru dia kirim dgn mata uang yg diinginkan. Misal seseorang mempunyai uang Rp. 10 juta hendak dikirim ke Arab Saudi dlm bentuk real. mk dia tukar terlebih dahulu uang rupiah itu dgn real Saudi baru dia minta pihak penyelenggara jasa mengirimkan dlm bentuk real Saudi. Bila dia telah yakin akan sampai di Arab Saudi dlm bentuk real namun ternyata sampai dlm bentuk rupiah mk tdk mengapa bagi penerima utk mengambil rupiah itu krn keadan darurat. Wallahu a’lam. Masalah 8: Bagaimana bila sebuah mata uang tdk bisa keluar dari negeri krn larangan pemerintah setempat atau krn tdk ada nilai di luar negeri? Misal seseorang mempunyai sejumlah uang real Saudi dan hendak mengirimkan ke Indonesia dlm bentuk rupiah. Dia ingin menukar real Saudi dgn rupiah namun krn rupiah jatuh tdk ada satupun money changer yg mau. Solusi adalah: 1. Dia langsung mengirim dlm bentuk real Saudi ke Indonesia. Penerima di Indonesia menerima real tersebut kemudian ditukar dgn rupiah di Indonesia. 2. Atau bila real Saudi tdk bisa keluar mk dia tukar real dgn dolar –misalnya– lalu dia kirimkan dolar ke Indonesia. Penerima di Indonesia menerima dlm bentuk dolar kemudian ditukar dgn rupiah di Indonesia. Wallahul muwaffiq. Penggunaan Cek dlm Ash-Sharf Dari permasalahan hiwalah mashrafiyyah di atas muncul masalah kontemporer yg sangat masyhur yaitu menggunakan kertas cek dlm bab ash-sharf baik dlm jual beli emas dan perak maupun tukar-menukar mata uang dgn cek. Permasalahan ini dibahas oleh para ulama khusus dlm hal cek resmi yg diakui atau dikeluarkan oleh pihak bank. Adapun cek palsu atau yg tdk diakui pihak bank mk jelas larangannya. Para ulama berbeda pandangan dlm masalah ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa dlm masalah ash-sharf atau yg dipersyaratkan ada taqabudh tdk boleh ada hiwalah . Dalam masalah cek apakah sudah terjadi taqabudh yg hakiki ataukah tidak? Sebagian ulama masa kini semisal Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berpendapat bahwa muamalah jual beli emas dan perak atau mata uang menggunakan cek adl tdk boleh. Karena cek bukanlah taqabudh hakiki melainkan hanya bukti hiwalah saja. Terbukti bila cek tersebut hilang dia bisa minta lagi cek dgn nominal yg sama. Namun beliau mengecualikan cek yg resmi dari bank mk tdk mengapa asalkan sang penjual yg menerima cek dari pembeli langsung menghubungi bank dan mengatakan: “Biarkan uang itu sebagai simpanan di situ.” Ulama yg melarang beralasan dgn beberapa hal sebagai berikut: 1. Bila cek itu rusak atau hilang sebelum uang dgn nominal yg tercantum itu diambil mk sang pemegang cek akan kembali kepada yg memberi cek. Bila cek tersebut adl serah terima hakiki layak mata uang niscaya dia tdk akan kembali ketika hilang atau rusak. 2. Terkadang cek tersebut ditarik tanpa nominal mk jelas tdk ada serah terima yg hakiki. 3. Terkadang pula orang yg menukar cek ditolak sehingga juga tdk ada serah terima yg hakiki. 4. Cek tdk termasuk kertas alat bayar layak mata uang namun hanya kertas yg berisikan nominal mata uang. Sementara itu mayoritas ulama dan fuqaha zaman ini serta para pakar ekonomi berpendapat bahwa cek mengandung qabdh yg sempurna lagi hakiki sehingga dapat bertransaksi menggunakan cek dlm bab ash-sharf. Alasan mereka adl sebagai berikut: 1. Sesungguh dlm syariat disebutkan masalah qabdh namun tdk ditentukan batasannya. Tidak pula diikat dgn kriteria tertentu. Rujukan hukum-hukum yg bersifat umum seperti ini adl kebiasaan setempat. Sementara secara kebiasaan yg terjadi di kalangan pebisnis cek adl serah terima yg sempurna terhadap apa yg terkandung di dalamnya. 2. Cek yg resmi dan diakui tidaklah akan dikeluarkan kecuali setelah diyakini ada debet-kredit pemilik cek pada sebuah bank. Dan ini yg dimaksud dgn hiwalah dlm fiqih Islami . 3. Keadaan darurat membuat cek tersebut dijadikan sebagai serah terima yg hakiki. Kaidah ini ada dlm syariat yaitu: “Keadaan darurat membolehkan perkara yg haram” “Kebutuhan yg umum memiliki hukum darurat” “Kesulitan mendatangkan kemudahan” “Bila perkara menjadi sempit mk datanglah keluasan.” Kaidah-kaidah seperti ini diambil dari kemudahan-kemudahan Islam yg tertuang dlm banyak dalil di antaranya: إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا “Sesungguh bersama kesusahan ada kemudahan.” Juga ayat: يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ “Allah menghendaki utk kemudahan bagi kalian dan tdk menghendaki kesukaran bagi kalian.” 4. Memudahkan perjalanan bisnis dan mengurangi resiko serta penjagaan terhadap harta benda yg dapat memotivasi para pebisnis utk melangsungkan bisnis dan menunjukkan kemudahan-kemudahan Islam. Pendapat ini adl kesepakatan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami pada Rabithah ‘Alam Islami yg dipimpin oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz. Juga pada fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah yg diketuai Asy-Syaikh Ibnu Baz yg beranggotakan Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud dan Asy-Syaikh Al-Ghudayyan. Mereka beralasan krn kebutuhan umum. Bila menilik kepada dalil-dalil syar’i mk yg rajih adl pendapat yg melarang. Namun dari sisi kebutuhan dan keadaan yg darurat mk diperbolehkan. Oleh krn itu hendak seorang muslim tdk bermuamalah dgn cara ini kecuali dlm keadaan darurat saja. Wallahul muwaffiq. Jual-beli Valas Dari uraian-uraian di atas kita dapat memahami hukum jual-beli valas secara syar’i dgn penjabaran sebagai berikut: 1. Bila jual-beli valas dari mata uang sejenis misal dolar dgn dolar mk disyaratkan ada tamatsul dan taqabudh. 2. Bila dari jenis mata uang yg berbeda misal rupiah dgn dolar atau dolar dgn poundsterling hanya disyaratkan ada taqabudh. Dengan dasar kaidah di atas maka: a. Tidak mengapa menanti naik-turun kurs sebuah mata uang yg dikehendaki bila terpenuhi persyaratan secara syar’i di atas ketika transaksi. b. Tidak diperbolehkan transaksi via transfer ATM atau sejenis sebab tdk terjadi taqabudh yg disyaratkan. c. Tidak boleh terjadi pertaruhan berbau judi dlm jual beli valas. Wallahu a’lam bish-shawab. Demikian penjelasan ringkas seputar masalah riba. Sebenar masih banyak permasalahan yg perlu diangkat namun krn keterbatasan lembar majalah ini mk kami cukupkan sampai di sini. Selebih dapat merujuk karya-karya para ulama dlm masalah ini. Semoga bermanfaat. Wallahul muwaffiq. Maraji’: 1. Syarhul Buyu’ hal. 124 dst 2. Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah juz 13 14 dan 15 3. Hasyiyah As-Sindi ‘ala Sunan An-Nasa`i 4. As-Sunnah karya Al-Marwazi 1 Namun jumhur ulama melarang ada hiwalah dlm bab ash-sharf . Sumber: www.asysyariah.com
lihat selanjute »»  

RIBA

Riba penulis Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin Syariah Kajian Utama 28 - Februari - 2007 05:59:04 Berikut pembahasan riba dgn seluk-beluknya. Materi ini mungkin terasa berat karena dibutuhkan perhatian yg lbh saat membacanya. Harapan kami tulisan yg singkat dan padat ini bisa memberi manfaat bagi anda. Pada beberapa edisi sebelum telah dibahas syarat-syarat jual beli yg sesuai dgn tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari situ diketahui beberapa sistem jual beli yg dilarang dlm Islam. Pada edisi kali ini akan dibahas secara khusus seputar masalah riba krn tema ini tergolong paling sulit dlm bab jual beli. Juga krn terlalu banyak praktik riba di kalangan kaum muslimin khusus di Indonesia ini. Definisi Riba Secara bahasa riba berarti bertambah tumbuh tinggi dan naik. Adapun menurut istilah syariat para fuqaha sangat beragam dlm mendefinisikannya. Sementara definisi yg tepat haruslah bersifat jami’ mani’ yaitu mengumpulkan hal-hal yg termasuk di dlm dan mengeluarkan hal-hal yg tdk termasuk darinya. Definisi paling ringkas dan bagus adl yg diberikan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu dlm Syarah Bulughul Maram bahwa makna riba adalah: “Penambahan pada dua perkara yg diharamkan dlm syariat ada tafadhul antara kedua dgn ganti dan ada ta`khir dlm menerima sesuatu yg disyaratkan qabdh .” Definisi di atas mencakup riba fadhl dan riba nasi`ah. Permasalahan ini insya Allah akan dijelaskan nanti. Faedah penting: Setiap jual beli yg diharamkan termasuk dlm kategori riba. Dengan cara seperti ini dapat diuraikan makna hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا “Riba itu ada 73 pintu.” Bila tiap sistem jual beli yg terlarang masuk dlm kategori riba mk akan dgn mudah menghitung hingga bilangan tersebut. Namun bila riba itu hanya ditafsirkan sebagai sistem jual beli yg dinashkan sebagai riba atau krn ada unsur penambahan pada mk akan sulit mencapai bilangan di atas. Wallahu a’lam. Madzhab ini dihikayatkan dari sekelompok ulama oleh Al-Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi rahimahullahu dlm kitab As-Sunnah . Lalu beliau berkata : “Menurut madzhab ini firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ “Dan Allah menghalalkan jual beli.” memiliki makna umum yg mencakup semua sistem jual beli yg tdk disebut riba. Dan tiap sistem jual beli yg diharamkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dlm firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَحَرَّمَ الرِّبَا “Dan Allah mengharamkan riba.” Juga dihikayatkan oleh As-Subuki dlm Takmilah Al-Majmu’ bahwa madzhab ini disandarkan kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Hal ini juga diuraikan oleh Ibnu Hajar Al-Imam Ash-Shan’ani Al-Imam Asy-Syaukani dan sejumlah ulama lainnya. Madzhab ini shahih dgn dalil-dalil sebagai berikut: 1. Atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata: لاَ يَصْلُحُ صَفْقَتَانِ فِي صَفْقَةٍ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ “Tidak boleh ada dua akad dlm satu akad jual beli. Sesungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba yg memberi makan orang lain dgn riba dua saksi dan pencatatnya.” dgn sanad hasan} Al-Marwazi dlm Sunnah- menyatakan: “Pada ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ini ada dalil yg menunjukkan bahwa tiap jual beli yg dilarang adl riba.” 2. Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: السَّلَفُ فِي حَبْلِ الْحَبَلَةِ رِبًا “Salaf pada hablul habalah adl riba.” } Al-Imam As-Sindi dlm Hasyiyatun Nasa‘i menjelaskan: “Sistem salaf dlm hablul habalah adl sang pembeli menyerahkan uang kepada seseorang yg mempunyai unta bunting. Sang pembeli berkata: ‘Bila unta ini melahirkan kemudian yg ada di dlm perut telah melahirkan mk aku beli anak darimu dgn harga ini.’ Muamalah seperti ini diserupakan dgn riba sebab hukum haram seperti riba dipandang dari sisi bahwa ini adl menjual sesuatu yg tdk dimiliki oleh si penjual dan dia tdk mampu utk menyerahkan barang tersebut. Sehingga ada unsur gharar padanya.” Hukum Riba Riba dgn segala bentuk adl haram dan termasuk dosa besar dgn dasar Al-Qur`an As-Sunnah dan ijma’ ulama. Dalil dari Al-Qur`an di antara adalah: وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Juga dlm firman-Nya: يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ “Hai orang2 yg beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang2 yg beriman. mk jika kamu tdk mengerjakan mk ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” Dalil dari As-Sunnah di antaranya: a. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu: اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِيْقَاتِ -وَمِنْهَا- أَكْلَ الرِّبَا “Jauhilah tujuh perkara yg menghancurkan –di antaranya– memakan riba.” b. Hadits Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari: لَعَنَ اللهُ آكِلَ الرِّبَا “Semoga Allah melaknat pemakan riba.” Dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yg diriwayatkan Al-Imam Muslim yg dilaknat adl pemakan riba pemberi riba penulis dan dua saksi lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan: هُمْ سَوَاءٌ “Mereka itu sama.” Para ulama sepakat bahwa riba adl haram dan termasuk dosa besar. Keadaan seperti yg digambarkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullahu sebagai berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yg disebut dlm Al-Qur`an yg lbh dahsyat daripada riba.” Kesepakatan ini dinukil oleh Al-Mawardi rahimahullahu dan An-Nawawi rahimahullahu dlm Al-Majmu’ . Faedah: Para ulama sepakat bahwa riba adl haram di negara Islam secara mutlak antara muslim dgn muslim muslim dgn kafir dzimmi muslim dgn kafir harbi. Mereka berbeda pendapat tentang riba yg terjadi di negeri kafir antara muslim dgn kafir. Pendapat yg rajih tanpa ada keraguan lagi adl pendapat jumhur yg menyatakan keharaman secara mutlak dgn keumuman dalil yg tersebut di atas. Yang menyelisihi adl Abu Hanifah dan dalil yg dipakai adl lemah. Wallahu a’lam. Para ulama juga berbeda pendapat tentang riba yg terjadi antara orang kafir dgn orang kafir lainnya. Pendapat yg rajih adl bahwa hal tersebut juga diharamkan atas mereka sebab orang2 kafir juga dipanggil utk melaksanakan hukum-hukum syariat Islam sebagaimana yg dirajihkan oleh jumhur ulama. Wallahul muwaffiq. Barang-barang yg Terkena Hukum Riba Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى، اْلآخِذُ وِالْمُعْطِي فِيْهِ سَوَاءٌ “Emas dgn emas perak dgn perak burr dgn burr sya’ir dgn sya’ir kurma dgn kurma dan garam dgn garam harus sama serah terima di tempat . Barangsiapa menambah atau minta tambah mk dia terjatuh dlm riba yg mengambil dan yg memberi dlm hal ini adl sama.” Demikian pula hadits ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yg muttafaq ‘alaih dan hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit dlm riwayat Muslim hanya menyebutkan 6 jenis barang yg terkena hukum riba yaitu: 1. Emas 2. Perak 3. Burr 4. Sya’ir 5. Kurma 6. Garam Para ulama berbeda pendapat apakah barang yg terkena riba hanya terbatas pada enam jenis di atas ataukah barang-barang lain bisa diqiyaskan dengannya? Untuk mengetahui lbh detail masalah ini perlu diklasifikasikan pembahasan para ulama menjadi dua bagian: Pertama: kurma garam burr dan sya’ir. Para ulama berbeda pendapat sebagai berikut: 1. Pendapat Zhahiriyyah Qatadah Thawus ‘Utsman Al-Buthi dan dihikayatkan dari Masruq dan Asy-Syafi’i juga dihikayatkan oleh An-Nawawi dari Syi’ah dan Al-Kasani. Ini adl pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali dikuatkan oleh Ash-Shan’ani dan beliau sandarkan kepada sejumlah ulama peneliti. Dan ini adl dzahir pembahasan Asy-Syaukani dlm Wablul Ghamam dan As-Sail serta pendapat ini yg dipilih oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu Syaikhuna Yahya Al-Hajuri Syaikhuna Abdurrahman Al-’Adani dan para masyayikh Yaman lainnya; bahwa riba hanya terjadi pada enam jenis barang ini dan tdk dapat diqiyaskan dgn yg lainnya. 2. Pendapat jumhur ulama bahwa barang-barang lain dapat diqiyaskan dgn enam barang di atas bila ‘illat sama. Kemudian mereka berbeda pendapat mengenai batasan ‘illat- sebagai berikut: a. An-Nakha’i Az-Zuhri Ats-Tsauri Ishaq bin Rahawaih Al-Hanafiyyah dan pendapat yg masyhur di madzhab Hanabilah bahwa riba itu berlaku pada barang yg ditakar dan atau ditimbang baik itu sesuatu yg dimakan seperti biji-bijian gula lemak ataupun tdk dimakan seperti besi kuningan tembaga platina dsb. Adapun segala sesuatu yg tdk ditimbang atau ditakar mk tdk berlaku hukum riba pada seperti buah-buahan krn ia diperjualbelikan dgn sistem bijian. Sehingga menurut mereka tdk boleh jual beli besi dgn besi secara tafadhul sebab besi termasuk barang yg ditimbang. Menurut mereka boleh jual beli 1 pena dgn 2 pena sebab pena tdk termasuk barang yg ditimbang atau ditakar. Mereka berdalil dgn lafadz yg tersebut dlm sebagian riwayat: إِلاَّ وَزْنًا بِوَزْنٍ.. إِلاَّ كَيْلاً بِكَيْلٍ “Kecuali timbangan dgn timbangan kecuali takaran dgn takaran.” b. Pendapat terbaru Asy-Syafi’i juga disandarkan oleh An-Nawawi kepada Ahmad bin Hambal Ibnul Mundzir dan yg lain bahwa riba itu berlaku pada semua yg dimakan dan yg diminum baik itu yg ditimbang/ditakar maupun tidak. Menurut mereka tdk boleh menjual 1 jeruk dgn 2 jeruk 1 kg daging dgn 15 kg daging. Semua itu termasuk barang yg dimakan. Juga tdk boleh menjual satu gelas jus jeruk dgn dua gelas jus jeruk sebab itu termasuk barang yg diminum. c. Pendapat Malik bin Anas rahimahullahu dan dirajihkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu bahwa riba berlaku pada makanan pokok yg dapat disimpan. d. Pendapat Az-Zuhri dan sejumlah ulama bahwa riba berlaku pada barang-barang yg warna dan rasa sama dgn kurma garam burr dan sya’ir. e. Pendapat Rabi’ah bahwa riba berlaku pada barang-barang yg dizakati. f. Pendapat Sa’id bin Al-Musayyib Asy-Syafi’i dlm pendapat lama satu riwayat dari Ahmad dan yg dipilih oleh Ibnu Qudamah Ibnu Taimiyyah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Al-Lajnah Ad-Da`imah yg diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz wakil Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh anggota: Asy-Syaikh Shalih Fauzan Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid mereka berpendapat bahwa riba berlaku pada tiap barang yg dimakan dan diminum yg ditakar atau ditimbang. Sehingga segala sesuatu yg tdk ditakar atau ditimbang tdk berlaku hukum riba padanya. Begitu pula segala sesuatu yg dimakan dan diminum namun tdk ditimbang atau ditakar mk tdk berlaku hukum riba padanya. Yang rajih –wallahu a’lam– adl pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yg sepaham dgn mereka yaitu bahwa tdk ada qiyas dlm hal ini dgn argumentasi sebagai berikut: 1. Hadits-hadits yg tersebut dlm masalah ini yg menyebutkan hanya enam jenis barang saja. 2. Kembali kepada hukum asal. Hukum asal jual beli adl halal kecuali ada dalil yg mengharamkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Sementara yg dikecualikan dlm hadits hanya enam barang saja. 3. ‘Illat yg disebutkan oleh jumhur tdk disebutkan secara nash dlm sebuah dalil. ‘Illat-’illat tersebut hanyalah hasil istinbath melalui cara ijtihad. Oleh sebab itulah mereka sendiri berbeda pendapat dlm menentukan batasan-batasannya. وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيْهِ اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا “Kalau kira bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapati pertentangan yg banyak di dalamnya.” Untuk itulah kita tetap berpegang dan merujuk kepada dzahir hadits. Wallahul muwaffiq. Adapun mereka yg beralasan dgn lafadz كَيْلاً بِكَيْلٍ dan yg tersebut dlm sebagian riwayat mk jawaban adl bahwa hadits tersebut dibawa pada pengertian yg ditimbang adl emas dan perak bukan barang yg lain dlm rangka mengompromikan dalil-dalil yg ada. Atau dgn bahasa lain yg dimaksud dgn lafadz-lafadz di atas adl kesamaan pada sisi timbangan pada barang-barang yg terkena hukum riba yg tersebut dlm hadits-hadits lain. Wallahu a’lam. Adapun pengertian sha’ atau takaran atau hitungan pada sebagian riwayat mk dijawab oleh Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani yg kesimpulan adl bahwa penyebutan hal-hal di atas hanyalah utk menunjukkan kesamaan dari sisi takaran atau timbangan pada barang-barang yg terkena hukum riba yg disebut dlm hadits-hadits lain. Wallahu a’lam. Adapun masalah muzabanah1 yg dijadikan dalil oleh jumhur mk jawaban adl sebagai berikut: 1. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dita tentang masalah ini beliau menjawab: “Tidak masalah kalau anggur termasuk barang yg terkena riba.” 2. Jawaban Ibnu Rusyd rahimahullah: “Muzabanah masuk dlm bab riba dari satu sisi dan masuk dlm bab gharar dari sisi yg lain. Pada barang-barang yg terkena riba mk masuk pada bab riba dan gharar sekaligus. Namun pada barang-barang yg tdk terkena riba mk dia masuk pada sisi gharar saja. Wallahul musta’an.” Kedua: Emas dan perak Para ulama berbeda pendapat tentang ‘illat emas dan perak dimasukkan sebagai barang riba. 1. Pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yg sepaham dgn mereka berpendapat bahwa perkara adl ta’abuddi tauqifi yakni demikianlah yg disebut dlm hadits ‘illat- adl bahwa dia itu emas dan perak. Atas dasar ini mk riba berlaku pada emas dan perak secara mutlak baik itu dijadikan sebagai alat bayar utk barang lain maupun tidak. Pendapat ini dipegangi oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu dlm sebagian karyanya. 2. Pendapat Al-Hanafiyah dan yg masyhur dari madzhab Hanabilah bahwa ‘illat- adl krn emas dan perak termasuk barang yg ditimbang. Sehingga tiap barang yg ditimbang seperti kuningan platina dan yg semisal termasuk barang yg terkena riba yaitu diqiyaskan dgn emas dan perak. Namun pendapat ini terbantah dgn kenyataan ada ijma’ ulama yg membolehkan ada sistem salam2 pada barang-barang yg ditimbang. Seandai tiap barang yg ditimbang terkena riba niscaya tdk diperbolehkan sistem salam padanya. 3. Pendapat Malik Asy-Syafi’i dan satu riwayat dari Ahmad bahwa ‘illat- adl tsamaniyyah utk barang-barang lainnya. Namun menurut mereka ‘illat ini khusus pada emas dan perak saja tdk masuk pada barang yg lainnya. Yang rajih wallahu a’lam adl pendapat pertama dan tdk bertentangan dgn pendapat ketiga. Sebab yg ketiga termasuk pada pendapat pertama wallahu a’lam. Dalil adl hadits Fudhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu tentang jual beli kalung emas. Wallahu a’lam. Mata Uang Kertas Para ulama berbeda pendapat dlm masalah ini: apakah mata uang kertas sekarang yg dijadikan alat bayar resmi terkena riba fadhl dan riba nasi`ah? Pendapat yg rajih insya Allah adl bahwa mata uang kertas adl sesuatu yg berdiri sendiri sebagai naqd seperti emas dan perak. Sehingga mata uang kertas itu berjenis-jenis sesuai dgn perbedaan jenis pihak yg mengeluarkannya. Ini adl pendapat Malik Asy-Syafi’i satu riwayat dari Ahmad dan yg dipilih oleh Ibnu Taimiyyah Ibnul Qayyim mayoritas Ha`iah Kibarul Ulama. Dan ini yg kebanyakan dipilih oleh seminar-seminar fiqih internasional semacam Rabithah ‘Alam Islami dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi. Dan inilah fatwa ulama kontemporer. Mereka mengatakan bahwa mata uang kertas disamakan dgn emas dan perak krn hampir mirip dgn ‘illat tsamaniyyah yg ada pada emas dan perak. Mata uang kertas sekarang berfungsi sebagai alat bayar utk barang-barang lain sebagai harta benda transaksi jual beli pembayaran hutang piutang dan perkara-perkara yg dgn dasar itu riba diharamkan pada emas dan perak. Atas dasar pendapat di atas mk ada beberapa hukum syar’i yg perlu diperhatikan berkaitan dgn masalah ini. Disebutkan dlm Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz anggota Asy-Syaikh Abdurrazaq ‘Afifi Asy-Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud sebagai berikut: 1. Terjadi dua jenis riba pada mata uang kertas sebagaimana yg terjadi pada emas dan perak. 2. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dgn jenis yg sama atau dgn jenis mata uang yg lain secara nasi`ah secara mutlak. Misal tdk boleh menjual 1 dolar dgn 5 real Saudi secara nasi`ah . 3. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dgn jenis yg sama secara fadhl baik secara tempo maupun serah terima di tempat. Misal tdk boleh menjual Rp. 1000 dgn Rp. 1.100. 4. Dibolehkan menjual satu jenis mata uang dgn jenis mata uang yg berbeda secara mutlak dgn syarat serah terima di tempat. Misal menjual 1 dolar dgn Rp. 10.000. 5. Wajib mengeluarkan zakat bila mencapai nishab dan satu haul. Nishab adl nishab perak. 6. Boleh dijadikan modal dlm syirkah atau sistem salam. Wallahu a’lam bish-shawab. 1 Muzabanah yaitu membeli burr yg masih di pohon dgn burr yg sudah dipanen atau membeli anggur yg masih di pohon dgn zabib . 2 Sistem salam: seseorang menyerahkan uang pembayaran di muka dlm majelis akad utk membeli suatu barang yg diketahui sifat tdk ada unsur gharar pada dgn jumlah yg diketahui takaran/timbangan yg diketahui dan waktu penyerahan yg diketahui. Sumber: www.asysyariah.com
Riba penulis Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin Syariah Kajian Utama 28 - Februari - 2007 05:59:04 Berikut pembahasan riba dgn seluk-beluknya. Materi ini mungkin terasa berat karena dibutuhkan perhatian yg lbh saat membacanya. Harapan kami tulisan yg singkat dan padat ini bisa memberi manfaat bagi anda. Pada beberapa edisi sebelum telah dibahas syarat-syarat jual beli yg sesuai dgn tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari situ diketahui beberapa sistem jual beli yg dilarang dlm Islam. Pada edisi kali ini akan dibahas secara khusus seputar masalah riba krn tema ini tergolong paling sulit dlm bab jual beli. Juga krn terlalu banyak praktik riba di kalangan kaum muslimin khusus di Indonesia ini. Definisi Riba Secara bahasa riba berarti bertambah tumbuh tinggi dan naik. Adapun menurut istilah syariat para fuqaha sangat beragam dlm mendefinisikannya. Sementara definisi yg tepat haruslah bersifat jami’ mani’ yaitu mengumpulkan hal-hal yg termasuk di dlm dan mengeluarkan hal-hal yg tdk termasuk darinya. Definisi paling ringkas dan bagus adl yg diberikan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu dlm Syarah Bulughul Maram bahwa makna riba adalah: “Penambahan pada dua perkara yg diharamkan dlm syariat ada tafadhul antara kedua dgn ganti dan ada ta`khir dlm menerima sesuatu yg disyaratkan qabdh .” Definisi di atas mencakup riba fadhl dan riba nasi`ah. Permasalahan ini insya Allah akan dijelaskan nanti. Faedah penting: Setiap jual beli yg diharamkan termasuk dlm kategori riba. Dengan cara seperti ini dapat diuraikan makna hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا “Riba itu ada 73 pintu.” Bila tiap sistem jual beli yg terlarang masuk dlm kategori riba mk akan dgn mudah menghitung hingga bilangan tersebut. Namun bila riba itu hanya ditafsirkan sebagai sistem jual beli yg dinashkan sebagai riba atau krn ada unsur penambahan pada mk akan sulit mencapai bilangan di atas. Wallahu a’lam. Madzhab ini dihikayatkan dari sekelompok ulama oleh Al-Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi rahimahullahu dlm kitab As-Sunnah . Lalu beliau berkata : “Menurut madzhab ini firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ “Dan Allah menghalalkan jual beli.” memiliki makna umum yg mencakup semua sistem jual beli yg tdk disebut riba. Dan tiap sistem jual beli yg diharamkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dlm firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَحَرَّمَ الرِّبَا “Dan Allah mengharamkan riba.” Juga dihikayatkan oleh As-Subuki dlm Takmilah Al-Majmu’ bahwa madzhab ini disandarkan kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Hal ini juga diuraikan oleh Ibnu Hajar Al-Imam Ash-Shan’ani Al-Imam Asy-Syaukani dan sejumlah ulama lainnya. Madzhab ini shahih dgn dalil-dalil sebagai berikut: 1. Atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata: لاَ يَصْلُحُ صَفْقَتَانِ فِي صَفْقَةٍ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ “Tidak boleh ada dua akad dlm satu akad jual beli. Sesungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba yg memberi makan orang lain dgn riba dua saksi dan pencatatnya.” dgn sanad hasan} Al-Marwazi dlm Sunnah- menyatakan: “Pada ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ini ada dalil yg menunjukkan bahwa tiap jual beli yg dilarang adl riba.” 2. Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: السَّلَفُ فِي حَبْلِ الْحَبَلَةِ رِبًا “Salaf pada hablul habalah adl riba.” } Al-Imam As-Sindi dlm Hasyiyatun Nasa‘i menjelaskan: “Sistem salaf dlm hablul habalah adl sang pembeli menyerahkan uang kepada seseorang yg mempunyai unta bunting. Sang pembeli berkata: ‘Bila unta ini melahirkan kemudian yg ada di dlm perut telah melahirkan mk aku beli anak darimu dgn harga ini.’ Muamalah seperti ini diserupakan dgn riba sebab hukum haram seperti riba dipandang dari sisi bahwa ini adl menjual sesuatu yg tdk dimiliki oleh si penjual dan dia tdk mampu utk menyerahkan barang tersebut. Sehingga ada unsur gharar padanya.” Hukum Riba Riba dgn segala bentuk adl haram dan termasuk dosa besar dgn dasar Al-Qur`an As-Sunnah dan ijma’ ulama. Dalil dari Al-Qur`an di antara adalah: وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Juga dlm firman-Nya: يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ “Hai orang2 yg beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang2 yg beriman. mk jika kamu tdk mengerjakan mk ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” Dalil dari As-Sunnah di antaranya: a. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu: اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِيْقَاتِ -وَمِنْهَا- أَكْلَ الرِّبَا “Jauhilah tujuh perkara yg menghancurkan –di antaranya– memakan riba.” b. Hadits Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari: لَعَنَ اللهُ آكِلَ الرِّبَا “Semoga Allah melaknat pemakan riba.” Dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yg diriwayatkan Al-Imam Muslim yg dilaknat adl pemakan riba pemberi riba penulis dan dua saksi lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan: هُمْ سَوَاءٌ “Mereka itu sama.” Para ulama sepakat bahwa riba adl haram dan termasuk dosa besar. Keadaan seperti yg digambarkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullahu sebagai berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yg disebut dlm Al-Qur`an yg lbh dahsyat daripada riba.” Kesepakatan ini dinukil oleh Al-Mawardi rahimahullahu dan An-Nawawi rahimahullahu dlm Al-Majmu’ . Faedah: Para ulama sepakat bahwa riba adl haram di negara Islam secara mutlak antara muslim dgn muslim muslim dgn kafir dzimmi muslim dgn kafir harbi. Mereka berbeda pendapat tentang riba yg terjadi di negeri kafir antara muslim dgn kafir. Pendapat yg rajih tanpa ada keraguan lagi adl pendapat jumhur yg menyatakan keharaman secara mutlak dgn keumuman dalil yg tersebut di atas. Yang menyelisihi adl Abu Hanifah dan dalil yg dipakai adl lemah. Wallahu a’lam. Para ulama juga berbeda pendapat tentang riba yg terjadi antara orang kafir dgn orang kafir lainnya. Pendapat yg rajih adl bahwa hal tersebut juga diharamkan atas mereka sebab orang2 kafir juga dipanggil utk melaksanakan hukum-hukum syariat Islam sebagaimana yg dirajihkan oleh jumhur ulama. Wallahul muwaffiq. Barang-barang yg Terkena Hukum Riba Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى، اْلآخِذُ وِالْمُعْطِي فِيْهِ سَوَاءٌ “Emas dgn emas perak dgn perak burr dgn burr sya’ir dgn sya’ir kurma dgn kurma dan garam dgn garam harus sama serah terima di tempat . Barangsiapa menambah atau minta tambah mk dia terjatuh dlm riba yg mengambil dan yg memberi dlm hal ini adl sama.” Demikian pula hadits ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yg muttafaq ‘alaih dan hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit dlm riwayat Muslim hanya menyebutkan 6 jenis barang yg terkena hukum riba yaitu: 1. Emas 2. Perak 3. Burr 4. Sya’ir 5. Kurma 6. Garam Para ulama berbeda pendapat apakah barang yg terkena riba hanya terbatas pada enam jenis di atas ataukah barang-barang lain bisa diqiyaskan dengannya? Untuk mengetahui lbh detail masalah ini perlu diklasifikasikan pembahasan para ulama menjadi dua bagian: Pertama: kurma garam burr dan sya’ir. Para ulama berbeda pendapat sebagai berikut: 1. Pendapat Zhahiriyyah Qatadah Thawus ‘Utsman Al-Buthi dan dihikayatkan dari Masruq dan Asy-Syafi’i juga dihikayatkan oleh An-Nawawi dari Syi’ah dan Al-Kasani. Ini adl pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali dikuatkan oleh Ash-Shan’ani dan beliau sandarkan kepada sejumlah ulama peneliti. Dan ini adl dzahir pembahasan Asy-Syaukani dlm Wablul Ghamam dan As-Sail serta pendapat ini yg dipilih oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu Syaikhuna Yahya Al-Hajuri Syaikhuna Abdurrahman Al-’Adani dan para masyayikh Yaman lainnya; bahwa riba hanya terjadi pada enam jenis barang ini dan tdk dapat diqiyaskan dgn yg lainnya. 2. Pendapat jumhur ulama bahwa barang-barang lain dapat diqiyaskan dgn enam barang di atas bila ‘illat sama. Kemudian mereka berbeda pendapat mengenai batasan ‘illat- sebagai berikut: a. An-Nakha’i Az-Zuhri Ats-Tsauri Ishaq bin Rahawaih Al-Hanafiyyah dan pendapat yg masyhur di madzhab Hanabilah bahwa riba itu berlaku pada barang yg ditakar dan atau ditimbang baik itu sesuatu yg dimakan seperti biji-bijian gula lemak ataupun tdk dimakan seperti besi kuningan tembaga platina dsb. Adapun segala sesuatu yg tdk ditimbang atau ditakar mk tdk berlaku hukum riba pada seperti buah-buahan krn ia diperjualbelikan dgn sistem bijian. Sehingga menurut mereka tdk boleh jual beli besi dgn besi secara tafadhul sebab besi termasuk barang yg ditimbang. Menurut mereka boleh jual beli 1 pena dgn 2 pena sebab pena tdk termasuk barang yg ditimbang atau ditakar. Mereka berdalil dgn lafadz yg tersebut dlm sebagian riwayat: إِلاَّ وَزْنًا بِوَزْنٍ.. إِلاَّ كَيْلاً بِكَيْلٍ “Kecuali timbangan dgn timbangan kecuali takaran dgn takaran.” b. Pendapat terbaru Asy-Syafi’i juga disandarkan oleh An-Nawawi kepada Ahmad bin Hambal Ibnul Mundzir dan yg lain bahwa riba itu berlaku pada semua yg dimakan dan yg diminum baik itu yg ditimbang/ditakar maupun tidak. Menurut mereka tdk boleh menjual 1 jeruk dgn 2 jeruk 1 kg daging dgn 15 kg daging. Semua itu termasuk barang yg dimakan. Juga tdk boleh menjual satu gelas jus jeruk dgn dua gelas jus jeruk sebab itu termasuk barang yg diminum. c. Pendapat Malik bin Anas rahimahullahu dan dirajihkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu bahwa riba berlaku pada makanan pokok yg dapat disimpan. d. Pendapat Az-Zuhri dan sejumlah ulama bahwa riba berlaku pada barang-barang yg warna dan rasa sama dgn kurma garam burr dan sya’ir. e. Pendapat Rabi’ah bahwa riba berlaku pada barang-barang yg dizakati. f. Pendapat Sa’id bin Al-Musayyib Asy-Syafi’i dlm pendapat lama satu riwayat dari Ahmad dan yg dipilih oleh Ibnu Qudamah Ibnu Taimiyyah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Al-Lajnah Ad-Da`imah yg diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz wakil Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh anggota: Asy-Syaikh Shalih Fauzan Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid mereka berpendapat bahwa riba berlaku pada tiap barang yg dimakan dan diminum yg ditakar atau ditimbang. Sehingga segala sesuatu yg tdk ditakar atau ditimbang tdk berlaku hukum riba padanya. Begitu pula segala sesuatu yg dimakan dan diminum namun tdk ditimbang atau ditakar mk tdk berlaku hukum riba padanya. Yang rajih –wallahu a’lam– adl pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yg sepaham dgn mereka yaitu bahwa tdk ada qiyas dlm hal ini dgn argumentasi sebagai berikut: 1. Hadits-hadits yg tersebut dlm masalah ini yg menyebutkan hanya enam jenis barang saja. 2. Kembali kepada hukum asal. Hukum asal jual beli adl halal kecuali ada dalil yg mengharamkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Sementara yg dikecualikan dlm hadits hanya enam barang saja. 3. ‘Illat yg disebutkan oleh jumhur tdk disebutkan secara nash dlm sebuah dalil. ‘Illat-’illat tersebut hanyalah hasil istinbath melalui cara ijtihad. Oleh sebab itulah mereka sendiri berbeda pendapat dlm menentukan batasan-batasannya. وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيْهِ اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا “Kalau kira bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapati pertentangan yg banyak di dalamnya.” Untuk itulah kita tetap berpegang dan merujuk kepada dzahir hadits. Wallahul muwaffiq. Adapun mereka yg beralasan dgn lafadz كَيْلاً بِكَيْلٍ dan yg tersebut dlm sebagian riwayat mk jawaban adl bahwa hadits tersebut dibawa pada pengertian yg ditimbang adl emas dan perak bukan barang yg lain dlm rangka mengompromikan dalil-dalil yg ada. Atau dgn bahasa lain yg dimaksud dgn lafadz-lafadz di atas adl kesamaan pada sisi timbangan pada barang-barang yg terkena hukum riba yg tersebut dlm hadits-hadits lain. Wallahu a’lam. Adapun pengertian sha’ atau takaran atau hitungan pada sebagian riwayat mk dijawab oleh Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani yg kesimpulan adl bahwa penyebutan hal-hal di atas hanyalah utk menunjukkan kesamaan dari sisi takaran atau timbangan pada barang-barang yg terkena hukum riba yg disebut dlm hadits-hadits lain. Wallahu a’lam. Adapun masalah muzabanah1 yg dijadikan dalil oleh jumhur mk jawaban adl sebagai berikut: 1. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dita tentang masalah ini beliau menjawab: “Tidak masalah kalau anggur termasuk barang yg terkena riba.” 2. Jawaban Ibnu Rusyd rahimahullah: “Muzabanah masuk dlm bab riba dari satu sisi dan masuk dlm bab gharar dari sisi yg lain. Pada barang-barang yg terkena riba mk masuk pada bab riba dan gharar sekaligus. Namun pada barang-barang yg tdk terkena riba mk dia masuk pada sisi gharar saja. Wallahul musta’an.” Kedua: Emas dan perak Para ulama berbeda pendapat tentang ‘illat emas dan perak dimasukkan sebagai barang riba. 1. Pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yg sepaham dgn mereka berpendapat bahwa perkara adl ta’abuddi tauqifi yakni demikianlah yg disebut dlm hadits ‘illat- adl bahwa dia itu emas dan perak. Atas dasar ini mk riba berlaku pada emas dan perak secara mutlak baik itu dijadikan sebagai alat bayar utk barang lain maupun tidak. Pendapat ini dipegangi oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu dlm sebagian karyanya. 2. Pendapat Al-Hanafiyah dan yg masyhur dari madzhab Hanabilah bahwa ‘illat- adl krn emas dan perak termasuk barang yg ditimbang. Sehingga tiap barang yg ditimbang seperti kuningan platina dan yg semisal termasuk barang yg terkena riba yaitu diqiyaskan dgn emas dan perak. Namun pendapat ini terbantah dgn kenyataan ada ijma’ ulama yg membolehkan ada sistem salam2 pada barang-barang yg ditimbang. Seandai tiap barang yg ditimbang terkena riba niscaya tdk diperbolehkan sistem salam padanya. 3. Pendapat Malik Asy-Syafi’i dan satu riwayat dari Ahmad bahwa ‘illat- adl tsamaniyyah utk barang-barang lainnya. Namun menurut mereka ‘illat ini khusus pada emas dan perak saja tdk masuk pada barang yg lainnya. Yang rajih wallahu a’lam adl pendapat pertama dan tdk bertentangan dgn pendapat ketiga. Sebab yg ketiga termasuk pada pendapat pertama wallahu a’lam. Dalil adl hadits Fudhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu tentang jual beli kalung emas. Wallahu a’lam. Mata Uang Kertas Para ulama berbeda pendapat dlm masalah ini: apakah mata uang kertas sekarang yg dijadikan alat bayar resmi terkena riba fadhl dan riba nasi`ah? Pendapat yg rajih insya Allah adl bahwa mata uang kertas adl sesuatu yg berdiri sendiri sebagai naqd seperti emas dan perak. Sehingga mata uang kertas itu berjenis-jenis sesuai dgn perbedaan jenis pihak yg mengeluarkannya. Ini adl pendapat Malik Asy-Syafi’i satu riwayat dari Ahmad dan yg dipilih oleh Ibnu Taimiyyah Ibnul Qayyim mayoritas Ha`iah Kibarul Ulama. Dan ini yg kebanyakan dipilih oleh seminar-seminar fiqih internasional semacam Rabithah ‘Alam Islami dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi. Dan inilah fatwa ulama kontemporer. Mereka mengatakan bahwa mata uang kertas disamakan dgn emas dan perak krn hampir mirip dgn ‘illat tsamaniyyah yg ada pada emas dan perak. Mata uang kertas sekarang berfungsi sebagai alat bayar utk barang-barang lain sebagai harta benda transaksi jual beli pembayaran hutang piutang dan perkara-perkara yg dgn dasar itu riba diharamkan pada emas dan perak. Atas dasar pendapat di atas mk ada beberapa hukum syar’i yg perlu diperhatikan berkaitan dgn masalah ini. Disebutkan dlm Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz anggota Asy-Syaikh Abdurrazaq ‘Afifi Asy-Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud sebagai berikut: 1. Terjadi dua jenis riba pada mata uang kertas sebagaimana yg terjadi pada emas dan perak. 2. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dgn jenis yg sama atau dgn jenis mata uang yg lain secara nasi`ah secara mutlak. Misal tdk boleh menjual 1 dolar dgn 5 real Saudi secara nasi`ah . 3. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dgn jenis yg sama secara fadhl baik secara tempo maupun serah terima di tempat. Misal tdk boleh menjual Rp. 1000 dgn Rp. 1.100. 4. Dibolehkan menjual satu jenis mata uang dgn jenis mata uang yg berbeda secara mutlak dgn syarat serah terima di tempat. Misal menjual 1 dolar dgn Rp. 10.000. 5. Wajib mengeluarkan zakat bila mencapai nishab dan satu haul. Nishab adl nishab perak. 6. Boleh dijadikan modal dlm syirkah atau sistem salam. Wallahu a’lam bish-shawab. 1 Muzabanah yaitu membeli burr yg masih di pohon dgn burr yg sudah dipanen atau membeli anggur yg masih di pohon dgn zabib . 2 Sistem salam: seseorang menyerahkan uang pembayaran di muka dlm majelis akad utk membeli suatu barang yg diketahui sifat tdk ada unsur gharar pada dgn jumlah yg diketahui takaran/timbangan yg diketahui dan waktu penyerahan yg diketahui. Sumber: www.asysyariah.com
lihat selanjute »»  

Definisi Produk Domestik Bruto atau Gross Domestic Product (GDP)

Gross Domestic Product (GDP) adalah penghitungan yang digunakan oleh suatu negara sebagai ukuran utama bagi aktivitas perekonomian nasionalnya, tetapi pada dasarnya GDP mengukur seluruh volume produksi dari suatu wilayah (negara) secara geografis. Sedangkan menurut McEachern (2000:146), GDP artinya mengukur nilai pasar dari barang dan jasa akhir yang diproduksi oleh sumber daya yang berada dalam suatu negara selama jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. GDP juga dapat digunakan untuk mempelajari perekonomian dari waktu ke waktu atau untuk membandingkan beberapa perekonomian pada suatu saat. Gross domestic product hanya mencakup barang dan jasa akhir, yaitu barang dan jasa yang dijual kepada pengguna yang terakhir. Untuk barang dan jasa yang dibeli untuk diproses lagi dan dijual lagi (Barang dan jasa intermediate) tidak dimasukkan dalam GDP untuk menghindari masalah double counting atau penghitungan ganda, yaitu menghitung suatu produk lebih dari satu kali. Contohnya, grosir membeli sekaleng tuna seharga Rp 6.000,- dan menjualnya seharga Rp 9.000,-. Jika GDP menghitung kedua transaksi tersebut , Rp 6.000,- dan Rp 9.000,-, maka sekaleng tuna itu dihitung senilai Rp 15.000,- (lebih besar daripada nilai akhirnya). Jadi, GDP hanya menghitung nilai akhir dari suatu produk yaitu sebesar Rp 9.000,-. Untuk barang yang diperjual-belikan berulang kali (second-hand) tidak dihitung dalam GDP karena barang tersebut telah dihitung pada saat diproduksi. (2000:146-147). Tipe-tipe GDP Ada dua tipe GDP, yaitu : 1) GDP dengan harga berlaku atau GDP nominal, yaitu nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku pada tahun tersebut. 2) GDP dengan harga tetap atau GDP riil, yaitu nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku pada suatu tahun tertentu yang seterusnya digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun-tahun lain Angka-angka GDP merupakan hasil perkalian jumlah produksi (Q) dan harga (P), kalau harga-harga naik dari tahun ke tahun karena inflasi, maka besarnya GDP akan naik pula, tetapi belum tentu kenaikan tersebut menunjukkan jumlah produksi (GDP riil). Mungkin kenaikan GDP hanya disebabkan oleh kenaikan harga saja, sedangkan volume produksi tetap atau merosot. Perhitungan GDP Menurut McEachern (2000:147) ada dua macam pendekatan yang digunakan dalam perhitungan GDP, yaitu: 1. Pendekatan pengeluaran, menjumlahkan seluruh pengeluaran agregat pada seluruh barang dan jasa akhir yang diproduksi selama satu tahun. 2. Pendekatan pendapatan, menjumlahkan seluruh pendapatan agregat yang diterima selama satu tahun oleh mereka yang memproduksi output tersebut. GDP berdasarkan Pendekatan Pengeluaran. Menurut McEachern (2000:149) untuk memahami pendekatan pengeluaran pada GDP, kita membagi pengeluaran agregat menjadi empat komponen, konsumsi, investasi, pembelian pemerintah, dan ekspor netto. Kita akan membahasnya satu per satu. 1. Konsumsi, atau secara lebih spesifik pengeluaran konsumsi perorangan, adalah pembelian barang dan jasa akhir oleh rumah tangga selama satu tahun. Contohnya : dry cleaning, potong rambut, perjalanan udara, dsb. 2. Investasi, atau secara lebih spesifik investasi domestik swasta bruto, adalah belanja pada barang kapital baru dan tambahan untuk persediaan. Contohnya : bangunan dan mesin baru yang dibeli perusahaan untuk menghasilkan barang dan jasa. 3. Pembelian pemerintah, atau secara lebih spesifik konsumsi dan investasi bruto pemerintah, mencakup semua belanja semua tingkat pemerintahan pada barang dan jasa, dari pembersihan jalan sampai pembersihan ruang pengadilan, dari buku perpustakaan sampai upah petugas perpustakaan. Di dalam pembelian pemerintah ini tidak mencakup keamanan sosial, bantuan kesejahteraan, dan asuransi pengangguran. Karena pembayaran tersebut mencerminkan bantuan pemerintah kepada penerimanya dan tidak mencerminkan pembelian pemerintah. 4. Ekspor netto, sama dengan nilai ekspor barang dan jasa suatu negara dikurangi dengan impor barang dan jasa negara tersebut. Ekspor netto tidak hanya meliputi nilai perdagangan barang tetapi juga jasa. Dalam pendekatan pengeluaran, pengeluaran agregat negara sama dengan penjumlahan konsumsi, C, investasi, I, pembelian pemerintah, G, dan ekspor netto, yaitu nilai ekspor, X, dikurangi dengan nilai impor, M, atau (X-M). Penjumlahan komponen tersebut menghasilkan pengeluaran agregat, atau GDP: C + I + G + (X-M) = Pengeluaran agregat = GDP GDP berdasarkan Pendekatan Pendapatan. Menurut McEachern (2000:151) pendapatan agregat sama dengan penjumlahan semua pendaptan yang diterima pemilik sumber daya dalam perekonomian (karena sumber dayanya digunakan dalam proses produksi). Sistem pembukuan double-entry dapat memastikan bahwa nilai output agregat sama dengan pendapatan agregat yang dibayarkan untuk sumber daya yang digunakan dalam produksi output tersebut: yaitu upah, bunga, sewa, dan laba dari produksi. Jadi kita dapat mengatakan bahwa: Pengeluaran agregat = GDP = Pendapatan agregat Suatu produk jadi biasanya diproses oleh beberapa perusahaan dalam perjalanannya menuju konsumen. Meja kayu, misalnya, mulanya sebagai kayu mentah, kemudian dipotong oleh perusahaan pertama, dipotong sesuai kebutuhan mebel oleh perusahaan kedua, dibuat meja oleh perusahaan ketiga, dan dijual oleh perusahaan keempat. Double counting dihindari dengan cara hanya memperhitungkan nilai pasar dari meja pada saat dijual kepada pengguna akhir atau dengan cara menghitung nilai tambah pada setiap tahap produksi. Nilai tambah dari setiap perusahaan sama dengan harga jual barang perusahaan tersebut dikurangi dengan jumlah yang dibayarkan atas input perusahaan lain. Nilai tambah dari tiap tahap mencerminkan pendapatan atas pemilik sumber daya pada tahap yang bersangkutan. Penjumlahan nilai tambah pada semua tahap produksi sama dengan nilai pasar barang akhir, dan penjumlahan nilai tambah seluruh barang dan jasa akhir adalah sama dengan GDP berdasarkan pendekatan pendapatan.
Gross Domestic Product (GDP) adalah penghitungan yang digunakan oleh suatu negara sebagai ukuran utama bagi aktivitas perekonomian nasionalnya, tetapi pada dasarnya GDP mengukur seluruh volume produksi dari suatu wilayah (negara) secara geografis. Sedangkan menurut McEachern (2000:146), GDP artinya mengukur nilai pasar dari barang dan jasa akhir yang diproduksi oleh sumber daya yang berada dalam suatu negara selama jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. GDP juga dapat digunakan untuk mempelajari perekonomian dari waktu ke waktu atau untuk membandingkan beberapa perekonomian pada suatu saat. Gross domestic product hanya mencakup barang dan jasa akhir, yaitu barang dan jasa yang dijual kepada pengguna yang terakhir. Untuk barang dan jasa yang dibeli untuk diproses lagi dan dijual lagi (Barang dan jasa intermediate) tidak dimasukkan dalam GDP untuk menghindari masalah double counting atau penghitungan ganda, yaitu menghitung suatu produk lebih dari satu kali. Contohnya, grosir membeli sekaleng tuna seharga Rp 6.000,- dan menjualnya seharga Rp 9.000,-. Jika GDP menghitung kedua transaksi tersebut , Rp 6.000,- dan Rp 9.000,-, maka sekaleng tuna itu dihitung senilai Rp 15.000,- (lebih besar daripada nilai akhirnya). Jadi, GDP hanya menghitung nilai akhir dari suatu produk yaitu sebesar Rp 9.000,-. Untuk barang yang diperjual-belikan berulang kali (second-hand) tidak dihitung dalam GDP karena barang tersebut telah dihitung pada saat diproduksi. (2000:146-147). Tipe-tipe GDP Ada dua tipe GDP, yaitu : 1) GDP dengan harga berlaku atau GDP nominal, yaitu nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku pada tahun tersebut. 2) GDP dengan harga tetap atau GDP riil, yaitu nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku pada suatu tahun tertentu yang seterusnya digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun-tahun lain Angka-angka GDP merupakan hasil perkalian jumlah produksi (Q) dan harga (P), kalau harga-harga naik dari tahun ke tahun karena inflasi, maka besarnya GDP akan naik pula, tetapi belum tentu kenaikan tersebut menunjukkan jumlah produksi (GDP riil). Mungkin kenaikan GDP hanya disebabkan oleh kenaikan harga saja, sedangkan volume produksi tetap atau merosot. Perhitungan GDP Menurut McEachern (2000:147) ada dua macam pendekatan yang digunakan dalam perhitungan GDP, yaitu: 1. Pendekatan pengeluaran, menjumlahkan seluruh pengeluaran agregat pada seluruh barang dan jasa akhir yang diproduksi selama satu tahun. 2. Pendekatan pendapatan, menjumlahkan seluruh pendapatan agregat yang diterima selama satu tahun oleh mereka yang memproduksi output tersebut. GDP berdasarkan Pendekatan Pengeluaran. Menurut McEachern (2000:149) untuk memahami pendekatan pengeluaran pada GDP, kita membagi pengeluaran agregat menjadi empat komponen, konsumsi, investasi, pembelian pemerintah, dan ekspor netto. Kita akan membahasnya satu per satu. 1. Konsumsi, atau secara lebih spesifik pengeluaran konsumsi perorangan, adalah pembelian barang dan jasa akhir oleh rumah tangga selama satu tahun. Contohnya : dry cleaning, potong rambut, perjalanan udara, dsb. 2. Investasi, atau secara lebih spesifik investasi domestik swasta bruto, adalah belanja pada barang kapital baru dan tambahan untuk persediaan. Contohnya : bangunan dan mesin baru yang dibeli perusahaan untuk menghasilkan barang dan jasa. 3. Pembelian pemerintah, atau secara lebih spesifik konsumsi dan investasi bruto pemerintah, mencakup semua belanja semua tingkat pemerintahan pada barang dan jasa, dari pembersihan jalan sampai pembersihan ruang pengadilan, dari buku perpustakaan sampai upah petugas perpustakaan. Di dalam pembelian pemerintah ini tidak mencakup keamanan sosial, bantuan kesejahteraan, dan asuransi pengangguran. Karena pembayaran tersebut mencerminkan bantuan pemerintah kepada penerimanya dan tidak mencerminkan pembelian pemerintah. 4. Ekspor netto, sama dengan nilai ekspor barang dan jasa suatu negara dikurangi dengan impor barang dan jasa negara tersebut. Ekspor netto tidak hanya meliputi nilai perdagangan barang tetapi juga jasa. Dalam pendekatan pengeluaran, pengeluaran agregat negara sama dengan penjumlahan konsumsi, C, investasi, I, pembelian pemerintah, G, dan ekspor netto, yaitu nilai ekspor, X, dikurangi dengan nilai impor, M, atau (X-M). Penjumlahan komponen tersebut menghasilkan pengeluaran agregat, atau GDP: C + I + G + (X-M) = Pengeluaran agregat = GDP GDP berdasarkan Pendekatan Pendapatan. Menurut McEachern (2000:151) pendapatan agregat sama dengan penjumlahan semua pendaptan yang diterima pemilik sumber daya dalam perekonomian (karena sumber dayanya digunakan dalam proses produksi). Sistem pembukuan double-entry dapat memastikan bahwa nilai output agregat sama dengan pendapatan agregat yang dibayarkan untuk sumber daya yang digunakan dalam produksi output tersebut: yaitu upah, bunga, sewa, dan laba dari produksi. Jadi kita dapat mengatakan bahwa: Pengeluaran agregat = GDP = Pendapatan agregat Suatu produk jadi biasanya diproses oleh beberapa perusahaan dalam perjalanannya menuju konsumen. Meja kayu, misalnya, mulanya sebagai kayu mentah, kemudian dipotong oleh perusahaan pertama, dipotong sesuai kebutuhan mebel oleh perusahaan kedua, dibuat meja oleh perusahaan ketiga, dan dijual oleh perusahaan keempat. Double counting dihindari dengan cara hanya memperhitungkan nilai pasar dari meja pada saat dijual kepada pengguna akhir atau dengan cara menghitung nilai tambah pada setiap tahap produksi. Nilai tambah dari setiap perusahaan sama dengan harga jual barang perusahaan tersebut dikurangi dengan jumlah yang dibayarkan atas input perusahaan lain. Nilai tambah dari tiap tahap mencerminkan pendapatan atas pemilik sumber daya pada tahap yang bersangkutan. Penjumlahan nilai tambah pada semua tahap produksi sama dengan nilai pasar barang akhir, dan penjumlahan nilai tambah seluruh barang dan jasa akhir adalah sama dengan GDP berdasarkan pendekatan pendapatan.
lihat selanjute »»  

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM BIDANG EKONOMI

Ilmu ekonomi muncul karena adanya tiga kenyataan berikut : • Kebutuhan manusia relatif tidak terbatas. • Sumber daya tersedia secara terbatas. • Masing-masing sumber daya mempunyai beberapa alternatif penggunaan. Ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia di dalam memenuhi kebutuhannya yang relatif tidak terbatas dengan menggunakan sumber daya yang terbatas dan masing-masing sumber daya mempunyai alternatif penggunaan (opportunity cost). Secara garis besar ilmu ekonomi dapat dipisahkan menjadi dua yaitu ilmu ekonomi mikro dan ilmu ekonomi makro. 1. Ekonomi Makro Ilmu ekonomi makro mempelajari variabel-variabel ekonomi secara agregat (keseluruhan). Variabel-variabel tersebut antara lain : pendapatan nasional, kesempatan kerja dan atau pengangguran, jumlah uang beredar, laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, maupun neraca pembayaran internasional. Ilmu ekonomi makro mempelajari masalah-masalah ekonomi utama sebagai berikut : • Sejauh mana berbagai sumber daya telah dimanfaatkan di dalam kegiatan ekonomi. Apabila seluruh sumber daya telah dimanfaatkan keadaan ini disebut full employment. Sebaliknya bila masih ada sumber daya yang belum dimanfaatkan berarti perekonomian dalam keadaan under employment atau terdapat pengangguran/belum berada pada posisi kesempatan kerja penuh. • Sejauh mana perekonomian dalam keadaan stabil khususnya stabilitas di bidang moneter. Apabila nilai uang cenderung menurun dalam jangka panjang berarti terjadi inflasi. Sebaliknya terjadi deflasi. • Sejauh mana perekonomian mengalami pertumbuhan dan pertumbuhan tersebut disertai dengan distribusi pendapatan yang membaik antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dalam distribusi pendapatan terdapat trade off maksudnya bila yang satu membaik yang lainnya cenderung memburuk. 2. Ekonomi Mikro Sementara ilmu ekonomi mikro mempelajari variabel-variabel ekonomi dalam lingkup kecil misalnya perusahaan, rumah tangga. Dalam ekonomi mikro ini dipelajari tentang bagaimana individu menggunakan sumber daya yang dimilikinya sehingga tercapai tingkat kepuasan yang optimum. Secara teori, tiap individu yang melakukan kombinasi konsumsi atau produksi yang optimum bersama dengan individu-individu lain akan menciptakan keseimbangan dalam skala makro dengan asumsi ceteris paribus. Perbedaan ekonomi mikro dan ekonomi makro Dilihat dari Ekonomi Mikro Ekonomi Makro Harga Harga ialah nilai dari suatu komoditas (barang tertentu saja) Harga adalah nilai dari komoditas secara agregat (keseluruhan) Unit analisis Pembahasan tentang kegiatan ekonomi secara individual. Contohnya permintaan dan dan penawaran, perilaku konsumen, perilaku produsen, pasar, penerimaan, biaya dan laba atau rugi perusahaan Pembahasan tentang kegiatan ekonomisecara keseluruhan. Contohnya pendapatan nasional, pertumbu8han ekonomi, inflasi, pengangguran, investasi dan kebijakan ekonomi. Tujuan analisis Lebih memfokuskan pada analisis tentang cara mengalokasikan sumber daya agar dapat dicapai kombinasi yang tepat. Lebih memfokuskan pada analisis tentang pengaruh kegiatan ekonomi terhadap perekonomian secara keseluruhan Masalah-masalah yang dihadapi pemerintah di bidang ekonomi 1. Masalah kemiskinan Upaua penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan melalui berbagai cara, misalnya program IDT (Inpres Desa Tertinggal), KUK (Kredit Usaha Kecil), KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) PKT (Program Kawasan Terpadu), GN-OTA dan program wajib belajar. 2. Masalah Keterbelangkangan Masalah yang dihadapi adalah rerndahnya tingkat pendapatan dan pemerataannya, rendahnya pelayanan kesehatan, kurang terpeliharanya fasilitas umum, rendahnya tingkat disiplin masyarakat, renddahnya tingkat keterampilan, rendahnya tingkat pendidikan formal, kurangnya modal, produktivitas kerja, lemahnya manajemen usaha. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah berupaya meningkatkan kualitas SDM, pertukranan ahli, transper teknologi dari Negara maju. 3. Masalah pengangguran dan kesempatan kerja Masalah pengangguran timbul karena terjadinya ketimpangan antara jumlah angkatan kerja dan kesempatan kerja yang tersedia. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah melakukan pelatihan bagi tenaga kerja sehingga tenaga kerja memeiliki keahlian sesuai dengan lapangan kerja yang tersedia, pembukaan investasi baru, terutama yang bersifat padat karya, pemberian informasi yang cepat mengenai lapangan kerja 4. Masalah kekurangan modal Kekurangan modal adalah suatu cirri penting setiap Negara yang memulai proses pembangunan. Kekurangan modal disebabkan tingkat pendapatan masyarakat yang rendah yang menyebabkan tabungan dan tingkat pembentukan modal sedikit. Cara mengatasinya memlaui peningkatan kualitas SDM atau peningkatan investasi menjadi lebih produktif. Peran dan Fungsi Pemerintah di Bidang Ekonomi 1. Fungsi stabilisasi, yaitu fungsi pemerintah dalam menciptakan kestabilan ekonomi, sosial politik, hokum, pertahanan dan keamanan. 2. Fungsi alokasi, yaitu fungsi pemerintah sebagai penyedia barang dan jasa public, seperti pembangunan jalan raya, gedung sekolah, penyediaan fasilitas penerangan, dan telepon. 3. Fungsi distribusi, yaitu fungsi pemerintah dalam pemerataan atau distribusi pendapatan masyarakat.
Ilmu ekonomi muncul karena adanya tiga kenyataan berikut : • Kebutuhan manusia relatif tidak terbatas. • Sumber daya tersedia secara terbatas. • Masing-masing sumber daya mempunyai beberapa alternatif penggunaan. Ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia di dalam memenuhi kebutuhannya yang relatif tidak terbatas dengan menggunakan sumber daya yang terbatas dan masing-masing sumber daya mempunyai alternatif penggunaan (opportunity cost). Secara garis besar ilmu ekonomi dapat dipisahkan menjadi dua yaitu ilmu ekonomi mikro dan ilmu ekonomi makro. 1. Ekonomi Makro Ilmu ekonomi makro mempelajari variabel-variabel ekonomi secara agregat (keseluruhan). Variabel-variabel tersebut antara lain : pendapatan nasional, kesempatan kerja dan atau pengangguran, jumlah uang beredar, laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, maupun neraca pembayaran internasional. Ilmu ekonomi makro mempelajari masalah-masalah ekonomi utama sebagai berikut : • Sejauh mana berbagai sumber daya telah dimanfaatkan di dalam kegiatan ekonomi. Apabila seluruh sumber daya telah dimanfaatkan keadaan ini disebut full employment. Sebaliknya bila masih ada sumber daya yang belum dimanfaatkan berarti perekonomian dalam keadaan under employment atau terdapat pengangguran/belum berada pada posisi kesempatan kerja penuh. • Sejauh mana perekonomian dalam keadaan stabil khususnya stabilitas di bidang moneter. Apabila nilai uang cenderung menurun dalam jangka panjang berarti terjadi inflasi. Sebaliknya terjadi deflasi. • Sejauh mana perekonomian mengalami pertumbuhan dan pertumbuhan tersebut disertai dengan distribusi pendapatan yang membaik antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dalam distribusi pendapatan terdapat trade off maksudnya bila yang satu membaik yang lainnya cenderung memburuk. 2. Ekonomi Mikro Sementara ilmu ekonomi mikro mempelajari variabel-variabel ekonomi dalam lingkup kecil misalnya perusahaan, rumah tangga. Dalam ekonomi mikro ini dipelajari tentang bagaimana individu menggunakan sumber daya yang dimilikinya sehingga tercapai tingkat kepuasan yang optimum. Secara teori, tiap individu yang melakukan kombinasi konsumsi atau produksi yang optimum bersama dengan individu-individu lain akan menciptakan keseimbangan dalam skala makro dengan asumsi ceteris paribus. Perbedaan ekonomi mikro dan ekonomi makro Dilihat dari Ekonomi Mikro Ekonomi Makro Harga Harga ialah nilai dari suatu komoditas (barang tertentu saja) Harga adalah nilai dari komoditas secara agregat (keseluruhan) Unit analisis Pembahasan tentang kegiatan ekonomi secara individual. Contohnya permintaan dan dan penawaran, perilaku konsumen, perilaku produsen, pasar, penerimaan, biaya dan laba atau rugi perusahaan Pembahasan tentang kegiatan ekonomisecara keseluruhan. Contohnya pendapatan nasional, pertumbu8han ekonomi, inflasi, pengangguran, investasi dan kebijakan ekonomi. Tujuan analisis Lebih memfokuskan pada analisis tentang cara mengalokasikan sumber daya agar dapat dicapai kombinasi yang tepat. Lebih memfokuskan pada analisis tentang pengaruh kegiatan ekonomi terhadap perekonomian secara keseluruhan Masalah-masalah yang dihadapi pemerintah di bidang ekonomi 1. Masalah kemiskinan Upaua penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan melalui berbagai cara, misalnya program IDT (Inpres Desa Tertinggal), KUK (Kredit Usaha Kecil), KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) PKT (Program Kawasan Terpadu), GN-OTA dan program wajib belajar. 2. Masalah Keterbelangkangan Masalah yang dihadapi adalah rerndahnya tingkat pendapatan dan pemerataannya, rendahnya pelayanan kesehatan, kurang terpeliharanya fasilitas umum, rendahnya tingkat disiplin masyarakat, renddahnya tingkat keterampilan, rendahnya tingkat pendidikan formal, kurangnya modal, produktivitas kerja, lemahnya manajemen usaha. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah berupaya meningkatkan kualitas SDM, pertukranan ahli, transper teknologi dari Negara maju. 3. Masalah pengangguran dan kesempatan kerja Masalah pengangguran timbul karena terjadinya ketimpangan antara jumlah angkatan kerja dan kesempatan kerja yang tersedia. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah melakukan pelatihan bagi tenaga kerja sehingga tenaga kerja memeiliki keahlian sesuai dengan lapangan kerja yang tersedia, pembukaan investasi baru, terutama yang bersifat padat karya, pemberian informasi yang cepat mengenai lapangan kerja 4. Masalah kekurangan modal Kekurangan modal adalah suatu cirri penting setiap Negara yang memulai proses pembangunan. Kekurangan modal disebabkan tingkat pendapatan masyarakat yang rendah yang menyebabkan tabungan dan tingkat pembentukan modal sedikit. Cara mengatasinya memlaui peningkatan kualitas SDM atau peningkatan investasi menjadi lebih produktif. Peran dan Fungsi Pemerintah di Bidang Ekonomi 1. Fungsi stabilisasi, yaitu fungsi pemerintah dalam menciptakan kestabilan ekonomi, sosial politik, hokum, pertahanan dan keamanan. 2. Fungsi alokasi, yaitu fungsi pemerintah sebagai penyedia barang dan jasa public, seperti pembangunan jalan raya, gedung sekolah, penyediaan fasilitas penerangan, dan telepon. 3. Fungsi distribusi, yaitu fungsi pemerintah dalam pemerataan atau distribusi pendapatan masyarakat.
lihat selanjute »»  

Penerapan ekonomi mikro

Ekonomi mikro yang diterapkan termasuk area besar belajar, banyak di antaranya menggambarkan metode dari yang lainnya. Regulasi dan organisasi industri mempelajari topik seperti masuk dan keluar dari firma, inovasi, aturan merek dagang. Hukum dan Ekonomi menerapkan prinsip ekonomi mikro ke pemilihan dan penguatan dari berkompetisi dengan rezim legal dan efisiensi relatifnya. Ekonomi Perburuhan mempelajari upah, kepegawaian, dan dinamika pasar buruh. Finansial publik (juga dikenal dengan ekonomi publik) mempelajari rancangan dari pajak pemerintah dan kebijakan pengeluaran dan efek ekonomi dari kebijakan-kebijakan tersebut (contohnya, program asuransi sosial). Ekonomi kesehatan mempelajari organisasi dari sistem kesehatan, termasuk peran dari pegawai kesehatan dan program asuransi kesehatan. Politik ekonomi mempelajari peran dari institusi politik dalam menentukan keluarnya sebuah kebijakan. Ekonomi kependudukan, yang mempelajari tantangan yang dihadapi oleh kota-kota, seperti gepeng, polusi air dan udara, kemacetan lalu-lintas, dan kemiskinan, digambarkan dalam geografi kependudukan dan sosiologi. Finansial Ekonomi mempelajari topik seperti struktur dari portofolio yang optimal, rasio dari pengembalian ke modal, analisa ekonometri dari keamanan pengembalian, dan kebiasaan finansial korporat. Bidang Sejarah ekonomi mempelajari evolusi dari ekonomi dan institusi ekonomi, menggunakan metode dan teknik dari bidang ekonomi, sejarah, geografi, sosiologi, psikologi dan ilmu politik.
Ekonomi mikro yang diterapkan termasuk area besar belajar, banyak di antaranya menggambarkan metode dari yang lainnya. Regulasi dan organisasi industri mempelajari topik seperti masuk dan keluar dari firma, inovasi, aturan merek dagang. Hukum dan Ekonomi menerapkan prinsip ekonomi mikro ke pemilihan dan penguatan dari berkompetisi dengan rezim legal dan efisiensi relatifnya. Ekonomi Perburuhan mempelajari upah, kepegawaian, dan dinamika pasar buruh. Finansial publik (juga dikenal dengan ekonomi publik) mempelajari rancangan dari pajak pemerintah dan kebijakan pengeluaran dan efek ekonomi dari kebijakan-kebijakan tersebut (contohnya, program asuransi sosial). Ekonomi kesehatan mempelajari organisasi dari sistem kesehatan, termasuk peran dari pegawai kesehatan dan program asuransi kesehatan. Politik ekonomi mempelajari peran dari institusi politik dalam menentukan keluarnya sebuah kebijakan. Ekonomi kependudukan, yang mempelajari tantangan yang dihadapi oleh kota-kota, seperti gepeng, polusi air dan udara, kemacetan lalu-lintas, dan kemiskinan, digambarkan dalam geografi kependudukan dan sosiologi. Finansial Ekonomi mempelajari topik seperti struktur dari portofolio yang optimal, rasio dari pengembalian ke modal, analisa ekonometri dari keamanan pengembalian, dan kebiasaan finansial korporat. Bidang Sejarah ekonomi mempelajari evolusi dari ekonomi dan institusi ekonomi, menggunakan metode dan teknik dari bidang ekonomi, sejarah, geografi, sosiologi, psikologi dan ilmu politik.
lihat selanjute »»  

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM BIDANG EKONOMI

Standar Kompetensi : Memahami kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi Kompetensi Dasar : - Mendeskripsikan perbedaan antara ekonomi mikro dan ekonomi makro - Mendeskripsikan masalah-masalah yang dihadapi pemerintah di bidang ekonomi Indikator : - Mendeskripsikan pengertian Ekonomi Mikro dan Makro - Mendeskripsikan perbedaan Ekonomi Mikro dan Makro - Memberi contoh di masyarakat tentang ekonomi mikro (misal usaha industri kecil) dan ekonomi makro (misal inflasi, pendapatan nasional dll) - Mengidentifikasi Masalah-masalah yang dihadapi pemerintah di bidang ekonomi (kemiskinan,pemerataan pendapatan). - Memecahkan Masalah-masalah yang dihadapi pemerintah di bidang ekonomi KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM BIDANG EKONOMI Ilmu ekonomi muncul karena adanya tiga kenyataan berikut : • Kebutuhan manusia relatif tidak terbatas. • Sumber daya tersedia secara terbatas. • Masing-masing sumber daya mempunyai beberapa alternatif penggunaan. Ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia di dalam memenuhi kebutuhannya yang relatif tidak terbatas dengan menggunakan sumber daya yang terbatas dan masing-masing sumber daya mempunyai alternatif penggunaan (opportunity cost). Secara garis besar ilmu ekonomi dapat dipisahkan menjadi dua yaitu ilmu ekonomi mikro dan ilmu ekonomi makro. 1. Ekonomi Makro Ilmu ekonomi makro mempelajari variabel-variabel ekonomi secara agregat (keseluruhan). Variabel-variabel tersebut antara lain : pendapatan nasional, kesempatan kerja dan atau pengangguran, jumlah uang beredar, laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, maupun neraca pembayaran internasional. Ilmu ekonomi makro mempelajari masalah-masalah ekonomi utama sebagai berikut : • Sejauh mana berbagai sumber daya telah dimanfaatkan di dalam kegiatan ekonomi. Apabila seluruh sumber daya telah dimanfaatkan keadaan ini disebut full employment. Sebaliknya bila masih ada sumber daya yang belum dimanfaatkan berarti perekonomian dalam keadaan under employment atau terdapat pengangguran/belum berada pada posisi kesempatan kerja penuh. • Sejauh mana perekonomian dalam keadaan stabil khususnya stabilitas di bidang moneter. Apabila nilai uang cenderung menurun dalam jangka panjang berarti terjadi inflasi. Sebaliknya terjadi deflasi. • Sejauh mana perekonomian mengalami pertumbuhan dan pertumbuhan tersebut disertai dengan distribusi pendapatan yang membaik antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dalam distribusi pendapatan terdapat trade off maksudnya bila yang satu membaik yang lainnya cenderung memburuk. 2. Ekonomi Mikro Sementara ilmu ekonomi mikro mempelajari variabel-variabel ekonomi dalam lingkup kecil misalnya perusahaan, rumah tangga. Dalam ekonomi mikro ini dipelajari tentang bagaimana individu menggunakan sumber daya yang dimilikinya sehingga tercapai tingkat kepuasan yang optimum. Secara teori, tiap individu yang melakukan kombinasi konsumsi atau produksi yang optimum bersama dengan individu-individu lain akan menciptakan keseimbangan dalam skala makro dengan asumsi ceteris paribus. Perbedaan ekonomi mikro dan ekonomi makro Dilihat dari Ekonomi Mikro Ekonomi Makro Harga Harga ialah nilai dari suatu komoditas (barang tertentu saja) Harga adalah nilai dari komoditas secara agregat (keseluruhan) Unit analisis Pembahasan tentang kegiatan ekonomi secara individual. Contohnya permintaan dan dan penawaran, perilaku konsumen, perilaku produsen, pasar, penerimaan, biaya dan laba atau rugi perusahaan Pembahasan tentang kegiatan ekonomisecara keseluruhan. Contohnya pendapatan nasional, pertumbu8han ekonomi, inflasi, pengangguran, investasi dan kebijakan ekonomi. Tujuan analisis Lebih memfokuskan pada analisis tentang cara mengalokasikan sumber daya agar dapat dicapai kombinasi yang tepat. Lebih memfokuskan pada analisis tentang pengaruh kegiatan ekonomi terhadap perekonomian secara keseluruhan Masalah-masalah yang dihadapi pemerintah di bidang ekonomi 1. Masalah kemiskinan Upaua penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan melalui berbagai cara, misalnya program IDT (Inpres Desa Tertinggal), KUK (Kredit Usaha Kecil), KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) PKT (Program Kawasan Terpadu), GN-OTA dan program wajib belajar. 2. Masalah Keterbelangkangan Masalah yang dihadapi adalah rerndahnya tingkat pendapatan dan pemerataannya, rendahnya pelayanan kesehatan, kurang terpeliharanya fasilitas umum, rendahnya tingkat disiplin masyarakat, renddahnya tingkat keterampilan, rendahnya tingkat pendidikan formal, kurangnya modal, produktivitas kerja, lemahnya manajemen usaha. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah berupaya meningkatkan kualitas SDM, pertukranan ahli, transper teknologi dari Negara maju. 3. Masalah pengangguran dan kesempatan kerja Masalah pengangguran timbul karena terjadinya ketimpangan antara jumlah angkatan kerja dan kesempatan kerja yang tersedia. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah melakukan pelatihan bagi tenaga kerja sehingga tenaga kerja memeiliki keahlian sesuai dengan lapangan kerja yang tersedia, pembukaan investasi baru, terutama yang bersifat padat karya, pemberian informasi yang cepat mengenai lapangan kerja 4. Masalah kekurangan modal Kekurangan modal adalah suatu cirri penting setiap Negara yang memulai proses pembangunan. Kekurangan modal disebabkan tingkat pendapatan masyarakat yang rendah yang menyebabkan tabungan dan tingkat pembentukan modal sedikit. Cara mengatasinya memlaui peningkatan kualitas SDM atau peningkatan investasi menjadi lebih produktif. Peran dan Fungsi Pemerintah di Bidang Ekonomi 1. Fungsi stabilisasi, yaitu fungsi pemerintah dalam menciptakan kestabilan ekonomi, sosial politik, hokum, pertahanan dan keamanan. 2. Fungsi alokasi, yaitu fungsi pemerintah sebagai penyedia barang dan jasa public, seperti pembangunan jalan raya, gedung sekolah, penyediaan fasilitas penerangan, dan telepon. 3. Fungsi distribusi, yaitu fungsi pemerintah dalam pemerataan atau distribusi pendapatan masyarakat.
Standar Kompetensi : Memahami kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi Kompetensi Dasar : - Mendeskripsikan perbedaan antara ekonomi mikro dan ekonomi makro - Mendeskripsikan masalah-masalah yang dihadapi pemerintah di bidang ekonomi Indikator : - Mendeskripsikan pengertian Ekonomi Mikro dan Makro - Mendeskripsikan perbedaan Ekonomi Mikro dan Makro - Memberi contoh di masyarakat tentang ekonomi mikro (misal usaha industri kecil) dan ekonomi makro (misal inflasi, pendapatan nasional dll) - Mengidentifikasi Masalah-masalah yang dihadapi pemerintah di bidang ekonomi (kemiskinan,pemerataan pendapatan). - Memecahkan Masalah-masalah yang dihadapi pemerintah di bidang ekonomi KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM BIDANG EKONOMI Ilmu ekonomi muncul karena adanya tiga kenyataan berikut : • Kebutuhan manusia relatif tidak terbatas. • Sumber daya tersedia secara terbatas. • Masing-masing sumber daya mempunyai beberapa alternatif penggunaan. Ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia di dalam memenuhi kebutuhannya yang relatif tidak terbatas dengan menggunakan sumber daya yang terbatas dan masing-masing sumber daya mempunyai alternatif penggunaan (opportunity cost). Secara garis besar ilmu ekonomi dapat dipisahkan menjadi dua yaitu ilmu ekonomi mikro dan ilmu ekonomi makro. 1. Ekonomi Makro Ilmu ekonomi makro mempelajari variabel-variabel ekonomi secara agregat (keseluruhan). Variabel-variabel tersebut antara lain : pendapatan nasional, kesempatan kerja dan atau pengangguran, jumlah uang beredar, laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, maupun neraca pembayaran internasional. Ilmu ekonomi makro mempelajari masalah-masalah ekonomi utama sebagai berikut : • Sejauh mana berbagai sumber daya telah dimanfaatkan di dalam kegiatan ekonomi. Apabila seluruh sumber daya telah dimanfaatkan keadaan ini disebut full employment. Sebaliknya bila masih ada sumber daya yang belum dimanfaatkan berarti perekonomian dalam keadaan under employment atau terdapat pengangguran/belum berada pada posisi kesempatan kerja penuh. • Sejauh mana perekonomian dalam keadaan stabil khususnya stabilitas di bidang moneter. Apabila nilai uang cenderung menurun dalam jangka panjang berarti terjadi inflasi. Sebaliknya terjadi deflasi. • Sejauh mana perekonomian mengalami pertumbuhan dan pertumbuhan tersebut disertai dengan distribusi pendapatan yang membaik antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dalam distribusi pendapatan terdapat trade off maksudnya bila yang satu membaik yang lainnya cenderung memburuk. 2. Ekonomi Mikro Sementara ilmu ekonomi mikro mempelajari variabel-variabel ekonomi dalam lingkup kecil misalnya perusahaan, rumah tangga. Dalam ekonomi mikro ini dipelajari tentang bagaimana individu menggunakan sumber daya yang dimilikinya sehingga tercapai tingkat kepuasan yang optimum. Secara teori, tiap individu yang melakukan kombinasi konsumsi atau produksi yang optimum bersama dengan individu-individu lain akan menciptakan keseimbangan dalam skala makro dengan asumsi ceteris paribus. Perbedaan ekonomi mikro dan ekonomi makro Dilihat dari Ekonomi Mikro Ekonomi Makro Harga Harga ialah nilai dari suatu komoditas (barang tertentu saja) Harga adalah nilai dari komoditas secara agregat (keseluruhan) Unit analisis Pembahasan tentang kegiatan ekonomi secara individual. Contohnya permintaan dan dan penawaran, perilaku konsumen, perilaku produsen, pasar, penerimaan, biaya dan laba atau rugi perusahaan Pembahasan tentang kegiatan ekonomisecara keseluruhan. Contohnya pendapatan nasional, pertumbu8han ekonomi, inflasi, pengangguran, investasi dan kebijakan ekonomi. Tujuan analisis Lebih memfokuskan pada analisis tentang cara mengalokasikan sumber daya agar dapat dicapai kombinasi yang tepat. Lebih memfokuskan pada analisis tentang pengaruh kegiatan ekonomi terhadap perekonomian secara keseluruhan Masalah-masalah yang dihadapi pemerintah di bidang ekonomi 1. Masalah kemiskinan Upaua penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan melalui berbagai cara, misalnya program IDT (Inpres Desa Tertinggal), KUK (Kredit Usaha Kecil), KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) PKT (Program Kawasan Terpadu), GN-OTA dan program wajib belajar. 2. Masalah Keterbelangkangan Masalah yang dihadapi adalah rerndahnya tingkat pendapatan dan pemerataannya, rendahnya pelayanan kesehatan, kurang terpeliharanya fasilitas umum, rendahnya tingkat disiplin masyarakat, renddahnya tingkat keterampilan, rendahnya tingkat pendidikan formal, kurangnya modal, produktivitas kerja, lemahnya manajemen usaha. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah berupaya meningkatkan kualitas SDM, pertukranan ahli, transper teknologi dari Negara maju. 3. Masalah pengangguran dan kesempatan kerja Masalah pengangguran timbul karena terjadinya ketimpangan antara jumlah angkatan kerja dan kesempatan kerja yang tersedia. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah melakukan pelatihan bagi tenaga kerja sehingga tenaga kerja memeiliki keahlian sesuai dengan lapangan kerja yang tersedia, pembukaan investasi baru, terutama yang bersifat padat karya, pemberian informasi yang cepat mengenai lapangan kerja 4. Masalah kekurangan modal Kekurangan modal adalah suatu cirri penting setiap Negara yang memulai proses pembangunan. Kekurangan modal disebabkan tingkat pendapatan masyarakat yang rendah yang menyebabkan tabungan dan tingkat pembentukan modal sedikit. Cara mengatasinya memlaui peningkatan kualitas SDM atau peningkatan investasi menjadi lebih produktif. Peran dan Fungsi Pemerintah di Bidang Ekonomi 1. Fungsi stabilisasi, yaitu fungsi pemerintah dalam menciptakan kestabilan ekonomi, sosial politik, hokum, pertahanan dan keamanan. 2. Fungsi alokasi, yaitu fungsi pemerintah sebagai penyedia barang dan jasa public, seperti pembangunan jalan raya, gedung sekolah, penyediaan fasilitas penerangan, dan telepon. 3. Fungsi distribusi, yaitu fungsi pemerintah dalam pemerataan atau distribusi pendapatan masyarakat.
lihat selanjute »»